Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dicari: Nyamuk, Hidup atau Mati

28 Desember 2020   08:39 Diperbarui: 28 Desember 2020   18:44 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan cupang kecil Si Raja Gentong (Dokpri)

Nyamuk mendadak menjadi hewan langka di rumah Poltak. Aneh. Biasanya hewan penyengat, betinanya, itu gemar nyambangi lubang kuping,  sambil membunyikan sirene tanda bahaya. Tapi sudah dua hari ini hal itu tak terjadi.

Akibatnya Poltak harus menjadi pemburu nyamuk tak kenal lelah. Setiap sudut gelap rumah dan pekarangan diubek. Mana tahu ada nyamuk ngumpet di situ. Sia-sia agaknya. Dalam dua hari, Poltak hanya berhasil menangkap dua ekor nyamuk. Perburuan yang buruk sekali.

Padahal segala cara yang terpikir sudah ditempuh. Termasuk mengumpankan dua betis besar untuk digigit nyamuk. Gratis. Tapi sia-sia saja. Istrinya bilang, betis Poltak itu justru jadi horor untuk nyamuk. Sebab bulunya panjang-panjang tapi jarang.

Seekor ikan cupang kecil, itulah biang keladinya. Sejak dua hari yang lalu, atas saran isterinya, Poltak memelihara seekor cupang dalam gentong Kasongan, di teras belakang rumahnya. Alasannya, gentong jangan dibiarkan kosong, nanti jadi rumah pocong.

Terjadilah menurut perkataan istri. Poltak melapisi lagi bagian dalam gentong itu dengan semen yang dibelinya secara ketengan dari toko marial depan kuburan Gang Sapi.  Agar air tidak merembes sesuai sifatnya.

Sebenarnya dulu gentong itu pernah digunakan ubtuk memelihara beberapa ekor ikan mas koki. Tapi entah kenapa, ikan-ikan lamban yang menggelikan itu mati semua. Pikir Poltak, mungkin para koi itu korban kolesterol tinggi. Indikasinya, perut mereka terlalu buncit.

Kini, gentong itu menjadi wilayah kekuasaan seekor cupang sawah kecil. Sedemikian kecilnya, sehingga cupang itu sangat sulit terlihat. Tapi itu bagus. Dengan begitu dia aman dari terkaman berang-berang.

"Hah! Sepuluh ribu?" Istrinya kaget saat Poltak menyebut harga cupang kecil itu. "Kirain duaribu, gitu." "Emangnya ikan cere, apah?" Istrinya tambah bergidik saat diberi tahu ada yang harganya puluhan, ratusan, bahkan jutaan rupiah. "Gila!" Iru saja komentarnya.

Poltak bukan tak punya uang untuk beli cupang seharga ratusan ribu. Bukan begitu. Ini soal konsistensi idiologis saja. Pertama, Poltak itu seorang Schumacherian, penganut idiologi Small is Beautiful, kecuali gaji.

Kedua, Poltak itu sekaligus seorang Smithian, penganut faham ekonomi rasional. Dia punya uang tigaratus ribu rupiah. Tapi daripada membelanjakannya untuk membeli seekor cupang, dan itu hanya menyenangkan dirinya, lebih baik membeli 6 kilogram gurame di pasar. Satu keluarga bisa kenyang dan senang, menikmati gurame bakar pedas.  

"Diberi makan jentik atau kutu saja, Pak." Saran Bang Rastamasta, penjaja cupang di mulut Gang Sapi, saat membeli cupang di lapaknya. "Ini ada dijual, Pak," sambarnya saat Poltak menanyakan di mana bisa mendapatkannya.  "Busyet! Masa jentik dan kutu aja mesti beli. Gak masuk akal!" Prinsip rasionalitas ekonominya kambuh. Jentik itu, small but not beautiful.

Pandemi Covid-19 memang bikin banyak orang menjadi irrasional. Beli seekor cupang atau sepokok janda bolong ratusan ribu rupiah, demi "manajemen betah di rumah" selama pandemi. Tapi Poltak menolak irrasional.  Lha, wong rasional aja udah susah.

"Cari jentik di rumah saja." Itu keputusan Poltak. Jentik. Bukan kutu. Sebab di rumah Poltak, tidak ada anggota keluarga yang kepalanya berkutu. Kepala tetangga mungkin ada yang berkutu. Tapi gimana cara nangkapnya?

Cupang kecil Si Raja Gentong di atap rumah kerangnya (Dokpri)
Cupang kecil Si Raja Gentong di atap rumah kerangnya (Dokpri)
Tapi Poltak lupa. Sejak DBD merebak di Gang Sapi dua tahun lalu, keluarganya sangat  benci pada genangan air. Tak ada wadah berair yang bisa jadi arena bertelur untuk nyamuk di rumahnya. Karena itu Poltak gagal menangkap jentik di rumahnya. Tidak seekor pun.

Itu sebabnya Poltak memutuskan untuk berburu nyamuk saja.  "Kalau jentik dimakan, pastilah induknya juga dimakan." Begitu pikiran logis Poltak. Dia ingat, orang Filipina, ya, makan balut, ya, makan ayam juga.  

Benar saja, prinsip itu juga berlaku untuk ikan cupang.  Dua ekor nyamuk pertama, hasil perburuan susah payah, langsung disambar cupang kecil itu, dengan gaya terkam yang indah. Poltak tambah bersemangat berburu nyamuk.

"Dicari: Nyamuk. Hidup atau Mati!" Itu semboyan Poltak, macam dia hidup di era Wild West saja. Dia hilir-mudik dari pekarangan belakang  ke pekarangan depan. Menelisik setiap helai daun, demi seekor nyamuk. Tapi tak seekorpun ketangkap. Sungguh, perburuan yang konyol. 

Tidak berputus asa, Poltak memasang perangkap jentik. Sebuah kemasan botol minum berisi air ditaruh di antara tanaman pekarangan. Maksudnya untuk menjebak nyamuk bertelur di situ.  Poltak lupa, dua ekor nyamuk terakhir di rumahnya sudah ada di dalam perut cupang. Lalu, siapa pula yang akan bertelur di situ.

Sebenarnya Poltak bisa saja menjaring jentik di selokan jorok di depan rumahnya. Tapi bakalan apa kata dunia, kalau seorang Kompasianer kepergok massa lagi ngudak kecu di selokan.

"Pak, mandi!  Jangan ngurusin cupang aja!" Istrinya mengingatkan Poltak dengan nada suara sewot. Nah, itu pertanda baik. Istri Poltak mulai cemburu pada seekor cupang kecil. Itulah hasil terdahsyat dari kerepotan Poltak dengan cupangnya selama dua hari terakhir.

Aih, ini hari Senin, ya. Hari penuh ide cemerlang. Ayo, semangat! (*)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun