Pandemi Covid-19 memang bikin banyak orang menjadi irrasional. Beli seekor cupang atau sepokok janda bolong ratusan ribu rupiah, demi "manajemen betah di rumah" selama pandemi. Tapi Poltak menolak irrasional. Â Lha, wong rasional aja udah susah.
"Cari jentik di rumah saja." Itu keputusan Poltak. Jentik. Bukan kutu. Sebab di rumah Poltak, tidak ada anggota keluarga yang kepalanya berkutu. Kepala tetangga mungkin ada yang berkutu. Tapi gimana cara nangkapnya?
Itu sebabnya Poltak memutuskan untuk berburu nyamuk saja. Â "Kalau jentik dimakan, pastilah induknya juga dimakan." Begitu pikiran logis Poltak. Dia ingat, orang Filipina, ya, makan balut, ya, makan ayam juga. Â
Benar saja, prinsip itu juga berlaku untuk ikan cupang. Â Dua ekor nyamuk pertama, hasil perburuan susah payah, langsung disambar cupang kecil itu, dengan gaya terkam yang indah. Poltak tambah bersemangat berburu nyamuk.
"Dicari: Nyamuk. Hidup atau Mati!" Itu semboyan Poltak, macam dia hidup di era Wild West saja. Dia hilir-mudik dari pekarangan belakang  ke pekarangan depan. Menelisik setiap helai daun, demi seekor nyamuk. Tapi tak seekorpun ketangkap. Sungguh, perburuan yang konyol.Â
Tidak berputus asa, Poltak memasang perangkap jentik. Sebuah kemasan botol minum berisi air ditaruh di antara tanaman pekarangan. Maksudnya untuk menjebak nyamuk bertelur di situ. Â Poltak lupa, dua ekor nyamuk terakhir di rumahnya sudah ada di dalam perut cupang. Lalu, siapa pula yang akan bertelur di situ.
Sebenarnya Poltak bisa saja menjaring jentik di selokan jorok di depan rumahnya. Tapi bakalan apa kata dunia, kalau seorang Kompasianer kepergok massa lagi ngudak kecu di selokan.
"Pak, mandi! Â Jangan ngurusin cupang aja!" Istrinya mengingatkan Poltak dengan nada suara sewot. Nah, itu pertanda baik. Istri Poltak mulai cemburu pada seekor cupang kecil. Itulah hasil terdahsyat dari kerepotan Poltak dengan cupangnya selama dua hari terakhir.
Aih, ini hari Senin, ya. Hari penuh ide cemerlang. Ayo, semangat! (*)
Â