Tujuh hari lewat sudah. Senin kemarin adalah hari terakhir retretku di Kilometer 1,000 Kompasiana. Hari ini, Selasa, aku boleh menulis lagi.Â
Inilah artikel nomor 1001. Tentu saja. Sebab habis 1000 terbitlah 1001. Setelah 1001? Entahlah, aku bukan seorang guru Kelas Satu SD yang sedang mengajarkan pembilangan.
Kisah 1000 dari 1001 artikelku telah kubeber pada artikel nomor 1000, Sebuah Retret di Kilometer Seribu Kompasiana. Semua itu adalah hasil anarkisme-inovatif, kenthirisme, proses persenyawaan logika, etika, dan estetika.
Sudah kubabar pula, anarkisme itu mengasah intuisi, dan intuisi merecikkan serendipitas. Lalu keseluruhannya menuntun salingtindak triangular antara idea, data, dan kata yang membangun setiap tulisanku.
Tak terkecuali, artikel nomor 1001 ini pun lahir dari proses serupa: intuisi dan serendipitas. Terkesan tanpa rencana. Tapi sebenarnya tidak begitu. Seperti kata Daeng Khrisna Pabichara, Â rancangan dan data dasarnya sudah selesai di kepala. Intuisi dan serendipitas bekerja ketika isi kepala itu dituangkan ke dalam bentuk tulisan.Â
Jadi, menulis, bahkan bagi seorang anarkis atau kenthir, bukanlah proses seketika. Kerangka dan data dasar setiap tulisan itu sudah ada, dan selesai, sejak kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, bahkan belasan atau puluhan tahun lalu. Selalu ada jarak waktu antara idea dan teks.
Kemarin, aku menghabiskan sisa waktu retret dengan menonton Poltak menebas dua batang pohon pisang, karunia mukjizat yang ditanam musang di pekarangan rumahnya. Poltak takhabis dirundung masalah yang muncul akibat mismanajemen karunia mukjizat itu.
Kata Poltak, dia harus menebang dua batang pisang yang tumbuh condong ke udara pekarangan tetangga. Hal itu menjadi persoalan karena, menurut hukum agraria, dua batang pisang itu telah menjajah wilayah pekarangan tetangga. Sebagai hukuman, kelak buahnya akan menjadi hak tetangga.
Tentu saja Poltak tak sudi pisangnya dicap sebagai penjajah. Itu kategorinya kejahatan internasional. Lagi pula apa kata dunia bila karunia menjadi penjajah, penebar mudarat. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali, "Tebang!" Itu perintah isterinya.
Berkat mengamati Poltak berakrobat menebang pohon pisang mulai dari pucuknya, terpikir olehku ikhwal pemosisian diri. Agar menebar manfaat, setiap ciptaan Tuhan itu harus berada pada tempat yang selayaknya. Â Jika tidak, maka terjadi disharmoni, lalu petaka mudarat.
Begitu pun tempatku dalam tatanan sosial Kompasiana. Â Dalam konteks mayoritas milenial, pemilik panggung Kompasiana, Â di manakah selayaknya aku berdiri? Itulah pertanyaan besar yang harus kujawab dalam retret tujuh hari.
Beruntung, Ki Hajar Dewantoro telah memberikan pilihan. Di depan sebagai sebagai teladan, di tengah sebagai penyemangat, atau di belakang sebagai penasihat. Aku hanya boleh pilih satu, sebab aku bukan orang hebat.
Sebagai teladan di depan, jelas aku tak layak. Itu adalah posisi Daeng Khrisna, nabi munsyi yang tak jemu-jemunya memberi contoh berbahasa Indonesia yang baik dan indah. Sebagai Generasi X-akhir, pos-X, dia sangat pas di posisi itu karena jarak sosiologis dan demografisnya dengan Generasi "Y" Milenial, mayoritas Kompasianer, hanya selebar rambut dibelah tujuh.
Kelas menulis Kompasianer yang diampunya baru-baru ini adalah contoh bagus tindakan keteladan Daeng Khrisna. Â Aku sangat menghargainya, sembari berdoa jangan sampai bermunculan impersonator Daeng Khrisna dari kelas itu. Â Â
Di belakang? Lebih tidak pantas lagi. Itu adalah posisi Pak Tjiptadinata, Kompasianer dari Generasi Pra-Baby Boomers. Dari posisi itu, layak dan pantaslah dia memberi nasihat kepada seluruh Kompasianer, lewat kisah-kisah nyata dalam sejarah hidupnya.
Satu-satunya tempat yang agak pas untukku, dan itulah pilihanku, adalah di tengah sebagai penyemangat. Ya, penyemangat Kompasianer Millenial. Seperti Guido Reba, filsuf dan petani tanggung, yang selalu sibuk mencariku kendati dia tahu tempatku berada.
Sebagai penyemangat, aku tak punya pretensi agar para Kompasianer Milenial menjadi anarkis atau kenthir. Tidak, sama sekali tidak. Cukuplah bila mereka siap untuk kenthir, manakala keadaan menuntut hal semacam itu.
Begitulah perkisahan 1001 artikelku di Kompasiana. Kutulis artikel ini setelah tujuh hari diam dalam hening. Sedikit bersikap tengil dengan menjauhi media sosial, seturut saran Daeng Khrisna. Karena itu, aku mohon maaf, jika komentar rekan-rekan di artikelku, juga artikel yang mengulik aku, tidak kutanggapi satu pun.
Kini menjadi jelas, selain anarkis atau kenthir, aku ini tengil juga, bukan? Aku tahu, setiap orang pasti enggan berurusan dengan manusia kenthir yang tengil. Tapi camkanlah, kau membutuhkan orang semacam itu untuk menyempurnakan emosimu dengan rasa jengkel.(*)
*Terimakasih khusus kepada Prov. Al Peb, Â voluntir Jubir "Felix Tani Center", yang telah menanggapi komentar-komentar rekan-rekan Kompasianer pada artikel "Sebuah Retret di Kilometer Seribu Kompasiana".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H