Beruntung, Ki Hajar Dewantoro telah memberikan pilihan. Di depan sebagai sebagai teladan, di tengah sebagai penyemangat, atau di belakang sebagai penasihat. Aku hanya boleh pilih satu, sebab aku bukan orang hebat.
Sebagai teladan di depan, jelas aku tak layak. Itu adalah posisi Daeng Khrisna, nabi munsyi yang tak jemu-jemunya memberi contoh berbahasa Indonesia yang baik dan indah. Sebagai Generasi X-akhir, pos-X, dia sangat pas di posisi itu karena jarak sosiologis dan demografisnya dengan Generasi "Y" Milenial, mayoritas Kompasianer, hanya selebar rambut dibelah tujuh.
Kelas menulis Kompasianer yang diampunya baru-baru ini adalah contoh bagus tindakan keteladan Daeng Khrisna. Â Aku sangat menghargainya, sembari berdoa jangan sampai bermunculan impersonator Daeng Khrisna dari kelas itu. Â Â
Di belakang? Lebih tidak pantas lagi. Itu adalah posisi Pak Tjiptadinata, Kompasianer dari Generasi Pra-Baby Boomers. Dari posisi itu, layak dan pantaslah dia memberi nasihat kepada seluruh Kompasianer, lewat kisah-kisah nyata dalam sejarah hidupnya.
Satu-satunya tempat yang agak pas untukku, dan itulah pilihanku, adalah di tengah sebagai penyemangat. Ya, penyemangat Kompasianer Millenial. Seperti Guido Reba, filsuf dan petani tanggung, yang selalu sibuk mencariku kendati dia tahu tempatku berada.
Sebagai penyemangat, aku tak punya pretensi agar para Kompasianer Milenial menjadi anarkis atau kenthir. Tidak, sama sekali tidak. Cukuplah bila mereka siap untuk kenthir, manakala keadaan menuntut hal semacam itu.
Begitulah perkisahan 1001 artikelku di Kompasiana. Kutulis artikel ini setelah tujuh hari diam dalam hening. Sedikit bersikap tengil dengan menjauhi media sosial, seturut saran Daeng Khrisna. Karena itu, aku mohon maaf, jika komentar rekan-rekan di artikelku, juga artikel yang mengulik aku, tidak kutanggapi satu pun.
Kini menjadi jelas, selain anarkis atau kenthir, aku ini tengil juga, bukan? Aku tahu, setiap orang pasti enggan berurusan dengan manusia kenthir yang tengil. Tapi camkanlah, kau membutuhkan orang semacam itu untuk menyempurnakan emosimu dengan rasa jengkel.(*)
*Terimakasih khusus kepada Prov. Al Peb, Â voluntir Jubir "Felix Tani Center", yang telah menanggapi komentar-komentar rekan-rekan Kompasianer pada artikel "Sebuah Retret di Kilometer Seribu Kompasiana".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H