"Adian! Maju ke depan!"
Ulangan dimulai. Adian, murid pertama sesuai daftar absensi, maju ke depan. Dia mengambil gulungan kecil kertas undian di meja Guru Barita.
"Perkalian bilangan limabelas, Gurunami."Â
"Bah! Enteng kali pun itu." Poltak menyimpan iri dalam hati.
Benar saja. Adian melibas perkalian sebelas selayaknya minum air pancuran.Â
Setelah Adian, giliran Alogo. Lalu Berta, Binsar, dan Bistok. Selanjutnya Dinar, Dolok, Gomgom, Jojor, dan Jonder. Â Lumongga, Marolop, Nalom, dan Poibe. Alogo tersendat pada perkalian tigabelas, Jonder pada perkalian enambelas, dan Nalom pada perkalian tujuhbelas. Anak lainnya lancar.
"Polmer! Maju!"
Setelah Polmer, pasti giliran Poltak. Â Lalu Risma, Saur, Tiur, dan Togu.
Polmer mendapat ujian perkalian duapuluh. Mudah sekali. Â Semudah mengulum gula-gula. Guru Barita menarik nafas lega. Sebab dia tak perlu menonton ingus yang keluar-masuk lubang hidung Polmer.
"Poltak!"  Terkejat, Poltak  berdiri dan bergegas maju ke depan.
"Perkalian sembilanbelas, Gurunami." Â Poltak menyerahkan kertas undian kepada Guru Barita.