Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #036] Apapun Masalahnya, Limun Solusinya

26 Desember 2020   19:08 Diperbarui: 26 Desember 2020   19:09 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada masalah tanpa solusi bagi anak kecil. Begitu pun bagi Poltak. Kata Guru Gayus, pembenci bisa menjadi pembunuh. Lalu pembunuh berakhir gila. Poltak tak sudi gila. Maka rasa bencinya kepada Jonder dicampakkannya. Selesai.

Tapi, untuk masalah ulangan berhitung, bagi Poltak solusinya tak semudah mencampakkan rasa benci. Sebab tak mungkin mencampakkan soal-soal ulangan, tanpa risiko dihadiahi ponten nol oleh Guru Barita.

"Ompung, belikanlah aku sebotol limun." Poltak memohon kepada neneknya, kemarin sepulang sekolah.

"Biar otakku encer, Ompung. Aku mau belajar berhitung.  Perkalian bilangan sebelas sampai duapuluh. Besok ulangan." Poltak membeber alasan, saat neneknya hendak menanyakan alasan.

Nenek Poltak sejatinya tak paham alasan cucunya. Kendati begitu, terdorong oleh rasa sayang pada cucu, dibelikannya jugalah sebotol limun untuk Poltak.

Bagi Poltak, berhitung itu pelajaran paling neraka . Khususnya perkalian bilangan ganjil. Terutama bilangan tujuh, sembilan, tigabelas, tujuhbelas, dan sembilanbelas.

"Itu gampang," kata Guru Barita, kemarin pagi. "Tinggal menambahkan bilangan yang sama terus-menerus."

Gampang?  Tinggal menambahkan bilangan yang sama?  Oh, tidak semudah itu bagi Poltak. Sekurangnya tak semudah membalik telapak tangan. Kecuali bila otak ada di telapak tangan.

Poltak harus belajar mati-matian. Supaya lancar hitungan perkalian. Itu bahan ulangan akhir triwulan kedua.  Taksudi dia mendapat punten merah dari Guru Barita. Takut nanti buku rapornya kebakaran.

Beruntung, ada sebotol limun menemani Poltak belajar.  Tepatnya menghafal perkalian bilangan 11 sampai 20. 

Poltak percaya, sebotol limun dapat mengatasi masalah. Bila dia demam, neneknya akan menyuguhkan sebotol limun. Setelah menenggak cairan merah berkarbonasi itu, tubuhnya menjadi segar, lalu demamnya berangsur hilang.

Tak hanya itu. Poltak juga percaya limun dapat membuka pikiran buntu. Dulu ketika dia dibawa paksa bapaknya ke rumah keluarga di Robean, ibunya menyuguhkan segelas limun. Setelah menenggaknya, pikiran Poltak   langsung terbuka. Dia menemukan jendela sebagai jalan lari, kembali ke rumah neneknya di Panatapan.

"Limun bisa menyembuhkan demam. Bisa membuka pikiran. Pasti bisa juga melancarkan hafalan perkalian." 

Begitulah logika Poltak. Dia tak sepenuhnya salah. Hanya saja, dia tidak tahu-menahu tentang efek plasebo, keberhasilan berkat pikiran positif.  

"Poltak! Kau sudah hafal perkalian sebelas sampai duapuluh?"

Binsar bertanya untuk memastikan kesiapan Poltak mengikuti ulangan berhitung pagi itu. Mereka, dengan Bistok dan anak-anak Pantapan lainnya, sedang bergegas ke sekolah.

"Hafallah. Luar kepala. Tak percumalah aku minum sebotol limun."

"Limun?" Binsar terheran-heran.

"Ya, betul. Limun. Obat segala masalah. Bisa bikin otak encer." Poltak meyakinkan  Binsar.

Poltak tak bertanya balik tentang kesiapan Binsar dan Bistok.  Tak perlu. Pasti mereka sudah hafal luar kepala. Jika tidak, maka percumalah mereka tinggal kelas.

Pagi itu, sebelum masuk kelas, sudah beredar isu aneh di antara murid Kelas Satu. Katanya, minum limun bisa bikin pintar. Poltak akan membuktikannya. Biang isu itu, siapa lagi kalau bukan Binsar.

Ulangan pelajaran berhitung diwarnai suasana tegang pagi itu. Tak seorang murid pun tahu dirinya akan mendapat soal ujian perkalian  bilangan berapa. Guru Barita menggunakan cara undian.

 "Adian! Maju ke depan!"

Ulangan dimulai. Adian, murid pertama sesuai daftar absensi, maju ke depan. Dia mengambil gulungan kecil kertas undian di meja Guru Barita.

"Perkalian bilangan limabelas, Gurunami." 

"Bah! Enteng kali pun itu." Poltak menyimpan iri dalam hati.

Benar saja. Adian melibas perkalian sebelas selayaknya minum air pancuran. 

Setelah Adian, giliran Alogo. Lalu Berta, Binsar, dan Bistok. Selanjutnya Dinar, Dolok, Gomgom, Jojor, dan Jonder.  Lumongga, Marolop, Nalom, dan Poibe. Alogo tersendat pada perkalian tigabelas, Jonder pada perkalian enambelas, dan Nalom pada perkalian tujuhbelas. Anak lainnya lancar.

"Polmer! Maju!"

Setelah Polmer, pasti giliran Poltak.  Lalu Risma, Saur, Tiur, dan Togu.

Polmer mendapat ujian perkalian duapuluh. Mudah sekali.  Semudah mengulum gula-gula. Guru Barita menarik nafas lega. Sebab dia tak perlu menonton ingus yang keluar-masuk lubang hidung Polmer.

"Poltak!"  Terkejat, Poltak  berdiri dan bergegas maju ke depan.

"Perkalian sembilanbelas, Gurunami."  Poltak menyerahkan kertas undian kepada Guru Barita.

"Bagus. Mulai."

"Satu kali sembilan belas sama dengan sembilanbelas. Dua kali sembilanbelas sama dengan tigapuluh delapan."

Tatapan Guru Barita lekat pada Poltak. Dia tahu, Poltak paling lemah dalam pelajaran berhitung. Terutama pada operasi perkalian. Mulutnya sudah siap membentak, sewaktu-waktu bila Poltak salah.

Murid-murid yang lain ikut pula tegang. Ingin tahu, apakah limun bisa bikin otak jadi encer. Poltak, anak yang paling payah dalam urusan berhitung di Kelas Satu, akan membuktikannya.

"Sembilan belas kali sembilan belas sama dengan tigaratus enampuluh satu."

"Bah! Hebat kau kali ini, Poltak."  Guru Barita tak menutupi rasa takjubnya.  Anak-anak Kelas Satu bersorak lega.

"Bagaimana caramu menghafalnya."

"Pakai limun, Gurunami."

"Limun? Kau apakan itu limun?" Guru Barita ingin tahu. Tiba-tiba dia merasa dungu.

"Aku minumlah, Gurunami. Setelah itu otakku langsung encer, Gurunami. Limun  itu ..."

"Ompungmu encer. Mana ada yang begitu. Sudah! Duduk sana!" Guru Barita memotong kalimat Poltak. Sekalian mengusir anak itu dari hadapannya. Bisa gila dia mendengar argumen ilmu limun Poltak.

"Poltak, betulkah limun bikin otak encer?"

Polmer tiba-tiba bertanya. Penuh rasa ingin tahu. Wajahnya disorongkan mendekat ke wajah Poltak.

"Betul. Juga untuk mengencerkan ingus." Poltak sedikit jengah. Ingus kering di dua lubang hidung Polmer mengganggu seleranya. Tapi juga menginspirasinya tentang khasiat lain dari limun.

"Maksudmu apa!" Polmer melotot total pada Poltak. Ujung hijau ingus cair tampak mengintip di dua lubang hidungnya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun