Ronde ini sangat alot, teramat alot.  Poltak melihat dari dua lubang hidung Polmer sepasang ingus kental hijau mulai  meler, mengalir seperti gletser ke bibirnya, lalu dengan cepat lesap lagi ke lorong di hidungnya.Â
Poltak melihat ada yang tak laizim. Â Seiring dengan keluar-masuknya ingus itu, rona muka Polmer semakin merah, dan pitingannya semakin kuat. Bistok, Si Kaki Tampah yang kekuatan kuda-kudanya seperti tiang rumah, mulai tampak kepayahan.
Bruk! Bistok jatuh terbanting ke tanah dalam pitingan Polmer. Seolah kesetanan, Polmer memperkuat pitingannya. Â Bistok mulai kesulitan bernafas.
"Polmer! Lepaskan!" Â Poltak berteriak, sambil menepuk-nepuk pundak Polmer. Â Barulah setelah itu pitingan Polmer mengendor lalu lepas.
"Satu satu! Seri! Â Ronde ketiga, penentuan!"
Bistok dan Polmer saling-piting lagi. Â Tapi kali ini tidak sealot ronde kedua. Â Seiring keluar-masuknya sepasang ingus Polmer, Bistok dengan cepat terbanting ke tanah.
Skor dua satu. Â Kemenangan untuk Polmer, Si Raksasa Ingusan itu. Â Bistok, Si Kaki Tampah itu tidak bisa lain kecuali menerima kekalahan.
"Aku kalah gara-gara ingus Si Polmer itu. Â Jijik kali pun." Â Bistok berdalih. Â Tapi dia tetap kalah.
Poltak punya kesimpulan sendiri. Â Bukan karena ingus. Â Dia menyaksikan, bersamaan dengan keluar-masuk ingusnya, tenaga Polmer semakin menguat.Â
"Si Polmer ini seperti Samson," simpul Poltak. "Samson, semakin panjang rambutnya, semakin besar tenaganya. Â Polmer, semakin panjang ingusnya, semakin besar juga tenaganya."
Kejadian sesungguhnya, deraan stress pada diri Polmer telah memicu produksi ingus dan sekaligus memacu tenaganya. Â Karena itu, tampak dari luar, semakin panjang leleran ingusnya semakin besar tenaganya.Â