Dengan kesimpulan itu, saya bisa katakan kepada Gubjak Anies, "Anda boleh bilang maju kotanya bahagia warganya tapi, faktanya, kota ini mundur dan saya menderita."
Dengan mengangkat artikel tentang selokan itu sebagai kasus, saya sekaligus ingin tunjukkan, seorang kenthiris tidak harus berpikir tentang hal-hal besar, makro, untuk dituliskan. Tapi bisa juga, dan kerap terjadi, berpikir tentang satu hal kecil, mikro, lalu ketika diangkat menjadi tulisan, terbuka kaitannya dengan soal-soal besar, penting, dan genting.
Lihatlah, betapa indah proses kenthirisme itu dan betapa lezat buahnya. Â Setiap orang, termasuk penulis pemula yang untuk sementara diminta menghindarinya, pada waktunya bisa tiba pada tingkatan kenthir itu, tanpa harus menjadi The Thinker di perempatan jalan.Â
Tapi, bagi mereka yang belum lanjut ke paragraf kelima artikel ini, karena masih terpaku menonton cara duduk Sharon Stone di Basic Instinct, saya harus bilang, "Sungguh, tidak ada harapan untuk kalian!" (*)
*)Artikel ini menanggapi rekan Khrisna Pabichara, "Bahaya Mazhab Kenthirisme bagi Penulis Pemula" (K. 10.12.20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H