Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #033] Tragedi Peragaan Mata Angin

4 Desember 2020   15:50 Diperbarui: 4 Desember 2020   17:23 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petaka kakus menguik yang menimpa Jonder sudah berlalu beberapa waktu.  Sesuai perintah Guru Barita, setiap murid sudah membawa tongkat kayu pemukul babi.   Tapi sejauh ini belum seorang murid pun memukul seekor babi dengan tongkatnya.  Alhasil, tongkat-tongkat tergeletak menganggur di samping setiap murid.

Pelajaran berhitung sudah menamatkan pembilangan satu sampai seratus. Guru Barita sudah mulai mengajarkan penjumlahan dan pengurangan. Untuk keperluan itu setiap murid telah diwajibkan membawa seratus potong lidi ukuran sejengkal.

Pelajaran membaca sudah menamatkan pengenalan huruf "a" sampai "z".  Guru Barita sudah mulai mengajarkan penggabungan dua huruf, suku kata, dan kata. B-a ba, b-i bi, ba-bi.  L-a la, r-i ri, la-ri. Ba-bi la-ri.

"Pagi ini kita peragaan mata angin!"  Suara Guru Barita mengelegar dari depan kelas.

Semua murid kelas satu duduk tertib menahan tegangan tinggi.  Kemarin Guru Barita sudah mengajarkan delapan mata angin.  Hari ini setiap murid harus maju ke depan kelas memperagakannya sambil berputar tigaratus enampuluh derajad.

"Pengetahuan mata angin itu penting.  Apa pun pekerjaanmu kelak, kamu harus tahu mata angin. Supaya kamu tak tersesat."

Murid-murid mengangguk-angguk.  Sumpah! Mereka tak paham maksud Guru Barita.

"Begini. Polmer!  Cita-citamu mau jadi apa kelak?"

"Supir, Gurunami!"  Kelas langsung riuh oleh suara cemooh dan gelak tawa.

"Supir itu macam-macam, Polmer.  Supir motor disebut supir.  Supir sado disebut sais.  Supir kereta api disebut masinis. Supir kapal laut disebut nakhoda.  Supir kapal terbang disebut pilot. Kau mau jadi supir yang mana, Polmer!"

"Supir kapal terbang, Gurunami!"

"Bagus! Kau harus hafal mata angin.  Kalau tidak, kau bisa tersesat di angkasa."

"Srot." Poltak spontan menoleh ke kanan, ke arah hidung Polmer.  Tak ada ingus meler di sana.  Luar biasa, kecepatan lesap ingus Polmer melebihi kecepatan suara.

"Tapi sebelum itu, kau harus bisa kendalikan ingusmu. Tak adalah itu pilot ingusan."

"Poltak! Maju!"  Guru Barita menunjuk murid pertama.

"Bah, aku pula," rutuk Poltak dalam hati.  Begitulah Guru Barita.  Dia selalu menunjuk murid selalu acak.  Tidak pernah tertib menunjuk mulai dari bangku terdepan atau berdasar urutan nama dalam daftar murid.

"Bawa tongkatmu!"

"Apa pula maunya guru kami ini," Poltak membathin sambil bergegas ke depan kelas.

"Tunjuk dengan tongkatmu delapan penjuru mata angin."

"Timur, tenggara, selatan, barat laut, barat, barat daya, utara, timur laut!" 

"Salah!" Guru Barita mendekat. "Sini tongkatmu!"   Hanya sekedipan mata setelah berpindah tangan, tongkat kayu itu sudah mendarat di bokong Poltak.

Akhirnya berguna juga tongkat kayu itu. Bukan untuk memukul babi, kakus menguik itu.  Tapi memukul murid yang keliru dalam pelajaran.  Poltak adalah korban pertama.

"Berdiri di pojok sana!  Jurus bangau mengintai ikan!"  Tak ada ampun untuk Poltak.

Jurus itu adalah salah satu bentuk hukuman bagi murid yang melakukan kesalahan dalam belajar.   Berdiri di atas satu kaki, telapak kaki satunya ditumpukan pada sisi dalam dengkul kaki yang menjejak.  Sambil melotot ke lantai seolah bangau mengintai ikan lewat.

Bentuk hukuman lainnya, memompa ruangan. Tangan kanan memegang kuping kiri, tangan kiri memegang kuping kanan.  Lalu melakukan gerakan jongkok-berdiri sebanyak sepuluh, limabelas, atau duapuluh kali.  Tergantung parahnya kesalahan.

Dari duapuluh orang murid kelas satu, pada hari itu hanya tiga orang yang mampu memperagakan delapan penjuru mata angin dengan sempurna. Mereka adalah Binsar, Bistok, dan Poibe.  Itulah keunggulan murid pengulang.

Kesalahannya macam-macam.  Ada yang mengurut terbalik penjuru mata angin, seperti Poltak.  Ada yang mengawali peragaan dengan menyebut, "Timur," tapi tongkatnya menunjuk timur laut, atau tenggara.  Ada juga yang berhenti pada penunjukan selatan, lupa arah selanjutnya.

Pada hari itu, peragaan delapan penjuru mata angin telah menjadi tragedi.  Bagaimana tidak.  Delapan belas batang tongkat kayu pemukul babi telah beralih-fungsi menjadi penggebuk bokong murid yang salah.  Juga, ada delapanbelas orang murid yang harus memperagakan jurus bangau mengintai ikan di depan kelas.

"Besok harus lancar semua. Tak boleh lagi salah," pandangan mata Guru Barita menyapu wajah murid-muridnya.

"Besok, sebelum berangkat sekolah, sarapan yang benar.  Jangan cuma makan gadong,"  lanjutnya.

Keluarga-keluarga Batak di Hutabolon dan sekitarnya, termasuk Panatapan, lazim hanya manggadong, sarapan singkong rebus, di pagi hari. Kemiskinan masih jamak di situ.

"Kalau kalian masuk hutan, pasti tersesat semua," keluh Guru Barita dengan nada gundah. 

Dia merasa gagal mengajar pada hari itu.  Juga ada rasa sesal.  Karena harus menghajar bokong murid-muridnya yang polos itu dengan tongkat kayu. "Tapi, kalau tak begitu, darah tak mengalir ke otak mereka," dia mencari pembenaran.

"Gurunami!"  Tiba-tiba Poltak mengacungkan telunjuk.

"Apa lagi kau, Poltak."

"Kami sering masuk hutan, Gurunami.  Kami tak pernah tersesat."  Poltak benar.  Hutan adalah pekarangan untuk kampungnya.  Mereka terbiasa masuk hutan mencari kayu bakar, atau mencari buah-buahan liar.

"Poltak!  Maju ke depan!"  Guru Barita tak habis pikir.  Kenapa ada murid seperti Poltak.  Tak pernah sungkan mengritik gurunya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun