Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Nomine K'nival, Saya Hanya Ingin Dikenang

17 November 2020   15:38 Diperbarui: 20 November 2020   06:08 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot kompasianival 2020

Kemarin malam saya bermimpi digigit kuda di pantat. Bayangkan rahang kuda berhias barisan geligi besar layaknya pahat batu. Petakalah bila pantat sampai tergigit olehnya. Syukurlah kuda termimpi itu ternyata ompong, sehingga gigitannya malah terasa geli-geli sedap di pantat.

Saya tak ambil pusing dengan makna mimpi nggilani itu sampai kemudian, kemarin sore, saya membaca artikel humor Mas Susy di Kompasiana. Dia mengabarkan saya masuk lagi dalam daftar nomine Best in Opinion. Tahun lalu, 2019, sudah ikut masuk, tapi dipecundangi seorang Kompasianer pendatang baru yang cerlangnya alamak.  

Jadi itulah arti mimpi pantat digigit kuda ompong itu. Nama saya masuk daftar nomine Best in Opinion lagi tahun itu. Rasanya, ya itulah, geli-geli sedap, persis yang saya rasakan dalam mimpi itu.

Sama seperti tahun lalu, orang yang paling bersemangat sejagad Kompasiana mendukung saya adalah Mas Susy.  Tahun lalu dia khusus menulis satu artikel dukungan. Tahun ini begitu juga. Alasannya sungguh mengharukan: tak ingin berpulang sebelum melihat Felix Tani menjadi jawara Kompasianival Awards.

Yah, doa dan harapan baik Mas Susy boleh-boleh saja. Hal seseorang mendoakan Megawati dan Jokowi pendek umur saja tak jadi soal, bukan? Hal terindah dari sebuah doa adalah Tuhan selalu mendengar walau tak selalu mengabulkan.  Beda dengan permohonan kepada, misalnya, Admin K: jangan kata dikabulkan, didengar juga belum tentu. Ini misal, lho.

Terlebih Mas Susy itu sekarang "Senior" untuk saya, seorang "Penjelajah" abadi. Pasti doanya lebih makbul. Tapi relasi itu sebenarnya rada ironis, sih. Ibaratnya, dia yang dulu memanggil saya "Suhu" kini sudah berpangkat Letjen, sementara saya, seniornya di bidang perusiaan, tetap setia dengan pangkat Brigjen.  

Tapi begitulah keutamaan orang tua: menyediakan bahu untuk pijakan orang-orang muda, agar mereka bisa naik lebih tinggi lagi. Itulah yang saya lakoni kini di Kompasiana. Menulis untuk menyemangati, sekaligus menghibur, rekan-rekan Kompasianer muda untuk kreatif dan produktif.  Syukur-syukur ada satu dua orang yang mau tersesat ikutan kenthir.

Jika diperiksa, maka dalam setahun ini sebenarnya tak banyak artikel opini yang saya tulis.  Saya membatasi diri, untuk tidak bilang malas.  Saya hanya akan menulis opini jika ada yang terpikir tidak adil. Semisal soal nasib petani yang terpinggirkan di Manggarai NTT,  perisakan subyektif pada Menkes Terawan, perisakan pada Timor Leste, dan juga soal perisakan pada sesama Kompasianer.  

Selebihnya, saya lebih banyak menulis artikel humor dan satire ringan tentang sesama Kompasianer dan Min K tercinta.  Tak ada tujuan lain kecuali menghibur. Syukur-syukur, sekali lagi, ada yang tertarik menganut mashab kenthirisme.

Lalu ada satu proyek yang kini menjadi fokus kerja saya: menganggit novel kenthir Poltak.  Ini novel anarkis, anti-plot, anti-teori.  Sepenuhnya ditulis berdasar intuisi dan berkah serendipitas. 

Sebegitu anarkisnya,  sehingga saya sendiri tak pernah punya bayangan tentang arah dan akhir novel itu. Sudah pasti itu memusingkan pembaca. Sehingga saya perlu memohon, tabahkanlah hatimu untuk derita membaca cerita Poltak itu.

Begitulah, saya sesungguhnya sangat berharap rekan-rekan muda saja yang tampil sebagai nomine, khususnya untuk kategori Best in Opinion. Sayang, untuk kategori ini hanya dua orang muda yang masuk:  Romo Boby dan Jose Hasibuan.  Tiga lainnya tergolong orang tua: Agung Webe, Jupiter Gulo, dan Felix Tani.

Sedikit banyak saya merasa kecewa karena upaya saya menyemangati rekan-rekan muda untuk kenthir, dalam arti kreatif dan produktif beropini, belum membuahkan hasil. Mungkin karena rekan-rekan muda ini lebih banyak tertawa saat membaca humor-humor sindiran saya, ketimbang menarik pelajaran darinya. Mudah-mudahan tahun 2021 nanti orang muda tampil dominan.

Saya sudah kadung menjadi nomine. Tetimakasih untuk rekan-rekan yang telah mengusulkan nama saya. Ini akan menjadi pertarungan 1 lawan 4: seorang penganut kenthirisme berhadapan dengan 4 orang penganut empirisme.  Jika Si Kenthir itu sampai menang, maka itulah lonceng kematian empirisme di Kompasiana.

Tapi apakah saya punya ambisi memenangi kontestasi Best in Opinion Kompasianival Awards 2020? Biarlah saya kutipkan nasihat Nenek Poltak: "Kamu tidak harus menjadi pemenang, tapi kamu harus menjadi orang yang dikenang." Ya, saya hanya ingin dikenang sebagai Kompasianer Kenthir. Sesederhana itulah harapan seorang Felix Tani.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun