Dataran Natarbora yang kami kunjungi untuk sebagian sudah diisi oleh transmigran asal Jawa. Mereka mengusahakan padi dan palawija di sana, sebagaimana layaknya warga transmigran asal Jawa.
Dari pengamatan, tampak  keadaan pertanian mereka cukup baik. Produktivitas lumayan, walau belum sebagus di Jawa tentu saja. Tapi secara ekonomi, jelas hidup mereka cukupan.
Para petani transmigran itu bukannya bebas dari kunjungan Fretelin. Ada kalanya Fretelin turun gunung menemui mereka meminta bekal makanan. Permintaan seperti itu dilayani saja karena menolak berarti mengundang petaka.
Hal yang menarik adalah perbedaan ekonomi pertanian antara transmigran dan warga asli Timtim waktu itu. Transmigran adalah petani padi sawah dan palawija. Sedangkan warga asli Timtim umumnya adalah petani lahan kering, khususnya perkebunan antara lain kopi. Perbedaaan ini berangkat dari perbedaan ekologi budaya orang Jawa (sawah, tegalan) dan orang Timor (kebun, lahan kering).
Aparat aktif penggerak pembangunan pertanian di Timtim waktu itu didominasi oleh orang luar-Timtim, khususnya dari Jawa. Bukannya tidak ada aparat dari warga Timtim asli. Tapi aparat yang lebih aktif adalah "orang luar".
Saya sempat tanyakan soal ini di kantor Kabupaten Same. Informasi yang saya dapatkan: aparat dari warga setempat hanya rajin masuk kantor di awal bulan untuk ambil gaji, setelah itu entah pergi ke mana.
Hal itu menjadi masalah. Dengan begitu, aparat warga asli lokal menjadi tidak cakap menjalankan tugas-tugas administrasi dan tugas-tugas pembangunan  Padahal itu kewajiban aparat pemerintah.
Masalah nyata, semacam brain drain, muncul ketika tahun 1999 referendum menetapkan Timor Leste merdeka atau lepas dari Indonesia. Petani-petani transmigran yang cakap itu, juga aparat pemerintah yang punya dedikasi kuat, memilih meninggalkan Timtim. Mereka pulang kembali ke Indonesia. Â
Akibatnya Timor Leste kehilangan sumberdaya manusia pertanian terbaiknya. Baik itu petani maupun aparat pemerintah. Yang tinggal di sana adalah warga asli yang punya ekologi budaya pertanian lahan kering dan kebun ekstensif. serta aparat dinas pertanian yang kurang cakap.
Indonesia sendiri memerlukan waktu 25 tahun (1945-1970) untuk menemukan format pembangunan ekonomi nasional yang tepat. Tahun ini Timtim genap merdeka 21 tahun lamanya. Karena itu tulikanlah telinga terhadap suara-suara aneh untuk reintegrasi ke Indonesia. Kemerdekaan Timor Leste itu, seperti dulu Indonesia, adalah pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.
Saran saya, ada baiknya Timor Leste belajar dari sejarah pembangunan ekonomi Indonesia sejak 1970. Mulailah dengan pembangunan pertanian. Sebab, sebenarnya, kekuatan riil rakyat dan ekonomi Timor Leste adalah pertanian.