Januari 2020, sebuah Sabtu siang yang biru cerah di Panatapan. Â Sebuah kampung kecil di pedalaman Tanah Batak. Dia terselip di pelukan lembah di dasar Bukit Barisan, Â tak sua di peta rupa bumi Tanah Bayak.
Seorang lelaki tua, bertongkat kayu legundi. Tertatih dia mendaki lereng bukit Partalinsiran di sisi utara kampung. Rambutnya perak, berkilauan ditimpa sinar matahari. Kontras dengan kerudung biru laut langit.
Di puncak bukit, lelaki tua itu berdiri tegak. Dipejamkannya mata tuanya lekat. Di benaknya, dia kembali ke mata kanak-kanaknya, memandang alam elok Panatapan. Â Alam yang asli nan asri di tahun 1960-an, alam agraris hunian komunitas lembah.
Di mata kanak-kanak lelaki tua itu, dulu Panatapan terlihat sungguh damai. Seperti gambar surga dalam Jubilate, buku nyanyian umat Katolik. Ya, sebuah surga kecil tempatnya lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak. Suatu masa hidup yang acak, tergantung tiupan angin, aliran air, dan arakan awan.
Rumah-rumah di Panatapan tampak rapih, berdiri segaris menghadap utara. Di belakangnya terhampar kebun warga dengan aneka tanaman yang tumbuh subur. Dari pisang, ubi kayu, ubi rambat, talas, kopi, jambu, nangka, jeruk, kecapi, jengkol, kemiri, sampai petai. Juga bambu, enau, kayu putih, dan hariara.
Di selatan kebun, menutupi sebuah lembah subur, terhampar areal persawahan warga Panatapan. Dari atas bukit Partalinsiran, hamparan sawah itu terlihat bak lukisan natural di atas kanvas alam.Â
Warna-warni lukisan itu berubah setiap waktu dalam semusim. Hitam lumpur sawah siap tanam bulan Desember disusul hijau pupus padi muda bulan Januari. Lalu hijau tua padi berbunga bulan Februari disambung hijau kekuningan bulir padi bulan Maret sampai April. Akhirnya kuning emas bulir padi siap panen di bulan Mei yang ditutup cokelat jerami sisa panen bulan Juni.
Di hilir persawahan itu terhampar rawa berseling bukit-bukit kecil. Di situ warga Panatapan membangun tebat. Tempat mereka memelihara ikan mas, mujair, lele, gabus, dan pora-pora. Sumber protein hewani bagi keluarga-keluarga Panatapan.
Jauh ke selatan, tampaklah  bentangan luas panorama indah perbukitan Uluan Tanah Batak. Dari atas bukit Partalinsiran, untaian pepunggungan perbukitan itu memantulkan warna-warni alami yang indah. Warna-warni yang selalu berubah menurut arah dan kecerahan terpaan sinar matahari.Â
Seorang pastor kulit putih pernah berkunjung ke Panatapan. Â Katanya, pemandangan perbukitan Uluan itu tak kalah indahnya dengan panorama Tuscani Italia.
Sekitar seratus meter ke  timur kampung, di ceruk sebuah lembah kecil, ada sebuah pancuran besar. Di situ semua orang Panatapan mandi, mencuci, dan mengambil air minum. Airnya menghilir mengairi persawahan di selatan kampung.Â
Air pancuran itu bersumber dari hutan Sibatuloting, di lereng pegunungan Bukit Barisan nun jauh di sebelah timur. Dari situ air dialirkan melalui saluran yang digali meliuk-liuk di pinggang lereng pegunungan, menerobos belantara hutan tropis perawan.
Jauh ke timur, tampak biru menjulang tinggi sebuah puncak besar. Itulah puncak gunung Simanuk-manuk yang mistis. Di puncak yang berselimut awan abadi itu, konon bersemayam Namartua Simanuk-manuk. Dialah roh penguasa seluruh lembah di bawahnya, termasuk Panatapan.
Persis di bawah hutan Sibatuloting, terhampar memanjang  sebuah ngarai bernama Siarimo. Ngarai itu dibelah sebuah sungai, yang mengalir jauh ke barat hingga bermuara di bibir pantai Danau Toba. Di musim kemarau, ngarai itu menjadi padang penggembalaan kerbau bagi warga Panatapan.
Panatapan dan ngarai Siarimo dipisahkan oleh lembah Holbung dan perbukitan Pardolok. Lembah dan perbukitan itu menyediakan rerumputan segar untuk pakan kerbau warga Panatapan, khususnya di musim  penghujan.Â
Di sebelah barat Panatapan, sejajar jalan raya lintas Sumatera, terentang rerimbunan pepohonan makadamia, membentuk sabuk hijau anti api. Tajuk makadamia yang rimbun padat tak mengijinkan cahaya matahari menyentuh tanah, sehingga dasar sabuk itu bersih dari tetumbuhan. Di balik sabuk itu, amanlah terlindung hamparan maha luas hutan pinus, tempat warga Panatapan mencari ranting kering untuk dijadikan kayu bakar.Â
Derum kasar mesin mobil tiba-tiba membuyarkan lukisan alam Panatapan di memori lelaki tua itu. Sebuah oplet berhenti di mulut kampung. Hari itu Sabtu, hari onan, pasar mingguan di Tigaraja, Parapat. Â Paronan, ibu-ibu warga Panatapan, sudah kembali dari onan.Â
Saat yang paling dinanti anak-anak panatapan dalam seminggu sudah tiba. Â Ibu atau nenek mereka pulang dari onan, membawa oleh-oleh aneka jajanan pasar yang selalu enak di lidah. Ada klepon, gandasturi, onde-onde, ongol-ongol, bugis, kue lapis, goreng pisang, pisang ambon, telur bebek rebus, pecal, dan kerupuk warna-warni. Itulah Sabtu bahagia untuk anak-anak.
Di antara para paronan yang turun dari oplet, mata lelaki tua itu terpaku pada sosok seorang perempuan tua. Perempuan itu mengingatkannya pada sosok neneknya di masa lalu. Dulu, setiap hari Sabtu, dia setia menunggu neneknya pulang dari onan Tigaraja, sambil melukisi tanah berpasir di halaman rumah.
Pandangan lelaki tua itu beralih ke halaman sebuah rumah di bawah bukit. Â Rumah tempatnya dulu menghabiskan masa kanak-kanak di bawah asuhan kakek-neneknya. Di sana, di halaman depan rumah itu, dia melihat seorang anak kecil sedang melukis cita-citanya, masa depannya, di atas kanvas tanah berpasir. Dari situlah sebuah kisah bermula. (Bersambung)
*Catatan: Rekan-rekan pembaca, episode ini adalah prolog untuk novel "Poltak" yang baru terpikirkan setelah Bagian Pertama: Acak, dari novel itu hampir selesai. Beberapa nomor lagi akan masuk ke Bagian Kedua: Ajeg. Â Mudah-mudahan rekan-rekan masih cukup punya ketabahan mengikuti novel kenthir ini. Terimakasih.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H