Air pancuran itu bersumber dari hutan Sibatuloting, di lereng pegunungan Bukit Barisan nun jauh di sebelah timur. Dari situ air dialirkan melalui saluran yang digali meliuk-liuk di pinggang lereng pegunungan, menerobos belantara hutan tropis perawan.
Jauh ke timur, tampak biru menjulang tinggi sebuah puncak besar. Itulah puncak gunung Simanuk-manuk yang mistis. Di puncak yang berselimut awan abadi itu, konon bersemayam Namartua Simanuk-manuk. Dialah roh penguasa seluruh lembah di bawahnya, termasuk Panatapan.
Persis di bawah hutan Sibatuloting, terhampar memanjang  sebuah ngarai bernama Siarimo. Ngarai itu dibelah sebuah sungai, yang mengalir jauh ke barat hingga bermuara di bibir pantai Danau Toba. Di musim kemarau, ngarai itu menjadi padang penggembalaan kerbau bagi warga Panatapan.
Panatapan dan ngarai Siarimo dipisahkan oleh lembah Holbung dan perbukitan Pardolok. Lembah dan perbukitan itu menyediakan rerumputan segar untuk pakan kerbau warga Panatapan, khususnya di musim  penghujan.Â
Di sebelah barat Panatapan, sejajar jalan raya lintas Sumatera, terentang rerimbunan pepohonan makadamia, membentuk sabuk hijau anti api. Tajuk makadamia yang rimbun padat tak mengijinkan cahaya matahari menyentuh tanah, sehingga dasar sabuk itu bersih dari tetumbuhan. Di balik sabuk itu, amanlah terlindung hamparan maha luas hutan pinus, tempat warga Panatapan mencari ranting kering untuk dijadikan kayu bakar.Â
Derum kasar mesin mobil tiba-tiba membuyarkan lukisan alam Panatapan di memori lelaki tua itu. Sebuah oplet berhenti di mulut kampung. Hari itu Sabtu, hari onan, pasar mingguan di Tigaraja, Parapat. Â Paronan, ibu-ibu warga Panatapan, sudah kembali dari onan.Â
Saat yang paling dinanti anak-anak panatapan dalam seminggu sudah tiba. Â Ibu atau nenek mereka pulang dari onan, membawa oleh-oleh aneka jajanan pasar yang selalu enak di lidah. Ada klepon, gandasturi, onde-onde, ongol-ongol, bugis, kue lapis, goreng pisang, pisang ambon, telur bebek rebus, pecal, dan kerupuk warna-warni. Itulah Sabtu bahagia untuk anak-anak.
Di antara para paronan yang turun dari oplet, mata lelaki tua itu terpaku pada sosok seorang perempuan tua. Perempuan itu mengingatkannya pada sosok neneknya di masa lalu. Dulu, setiap hari Sabtu, dia setia menunggu neneknya pulang dari onan Tigaraja, sambil melukisi tanah berpasir di halaman rumah.
Pandangan lelaki tua itu beralih ke halaman sebuah rumah di bawah bukit. Â Rumah tempatnya dulu menghabiskan masa kanak-kanak di bawah asuhan kakek-neneknya. Di sana, di halaman depan rumah itu, dia melihat seorang anak kecil sedang melukis cita-citanya, masa depannya, di atas kanvas tanah berpasir. Dari situlah sebuah kisah bermula. (Bersambung)
*Catatan: Rekan-rekan pembaca, episode ini adalah prolog untuk novel "Poltak" yang baru terpikirkan setelah Bagian Pertama: Acak, dari novel itu hampir selesai. Beberapa nomor lagi akan masuk ke Bagian Kedua: Ajeg. Â Mudah-mudahan rekan-rekan masih cukup punya ketabahan mengikuti novel kenthir ini. Terimakasih.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H