Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #000] Sebuah Prolog untuk Poltak

1 November 2020   15:24 Diperbarui: 1 November 2020   16:48 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Januari 2020, sebuah Sabtu siang yang biru cerah di Panatapan.  Sebuah kampung kecil di pedalaman Tanah Batak. Dia terselip di pelukan lembah di dasar Bukit Barisan,  tak sua di peta rupa bumi Tanah Bayak.

Seorang lelaki tua, bertongkat kayu legundi. Tertatih dia mendaki lereng bukit Partalinsiran di sisi utara kampung. Rambutnya perak, berkilauan ditimpa sinar matahari. Kontras dengan kerudung biru laut langit.

Di puncak bukit, lelaki tua itu berdiri tegak. Dipejamkannya mata tuanya lekat. Di benaknya, dia kembali ke mata kanak-kanaknya, memandang alam elok Panatapan.  Alam yang asli nan asri di tahun 1960-an, alam agraris hunian komunitas lembah.

Di mata kanak-kanak lelaki tua itu, dulu Panatapan terlihat sungguh damai. Seperti gambar surga dalam Jubilate, buku nyanyian umat Katolik. Ya, sebuah surga kecil tempatnya lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak. Suatu masa hidup yang acak, tergantung tiupan angin, aliran air, dan arakan awan.

Rumah-rumah di Panatapan tampak rapih, berdiri segaris menghadap utara. Di belakangnya terhampar kebun warga dengan aneka tanaman yang tumbuh subur. Dari pisang, ubi kayu, ubi rambat, talas, kopi, jambu, nangka, jeruk, kecapi, jengkol, kemiri, sampai petai. Juga bambu, enau, kayu putih, dan hariara.

Di selatan kebun, menutupi sebuah lembah subur, terhampar areal persawahan warga Panatapan. Dari atas bukit Partalinsiran, hamparan sawah itu terlihat bak lukisan natural di atas kanvas alam. 

Warna-warni lukisan itu berubah setiap waktu dalam semusim. Hitam lumpur sawah siap tanam bulan Desember disusul hijau pupus padi muda bulan Januari. Lalu hijau tua padi berbunga bulan Februari disambung hijau kekuningan bulir padi bulan Maret sampai April. Akhirnya kuning emas bulir padi siap panen di bulan Mei yang ditutup cokelat jerami sisa panen bulan Juni.

Di hilir persawahan itu terhampar rawa berseling bukit-bukit kecil. Di situ warga Panatapan membangun tebat. Tempat mereka memelihara ikan mas, mujair, lele, gabus, dan pora-pora. Sumber protein hewani bagi keluarga-keluarga Panatapan.

Jauh ke selatan, tampaklah  bentangan luas panorama indah perbukitan Uluan Tanah Batak. Dari atas bukit Partalinsiran, untaian pepunggungan perbukitan itu memantulkan warna-warni alami yang indah. Warna-warni yang selalu berubah menurut arah dan kecerahan terpaan sinar matahari. 

Seorang pastor kulit putih pernah berkunjung ke Panatapan.  Katanya, pemandangan perbukitan Uluan itu tak kalah indahnya dengan panorama Tuscani Italia.

Sekitar seratus meter ke  timur kampung, di ceruk sebuah lembah kecil, ada sebuah pancuran besar. Di situ semua orang Panatapan mandi, mencuci, dan mengambil air minum. Airnya menghilir mengairi persawahan di selatan kampung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun