Kalau jiwamu rapuh, jangan menulis novel di Kompasiana. Deritanya terlalu perih. Kamu tidak akan kuat. Biar kami saja yang menjalaninya. Kamu menulis artikel politik saja. Atau hantu blau.
Adakah derita yang lebih perih dari ini? Kami sudah berakrobat rasio dan emosi untuk bisa menaja satu episode novel.  Saat dirilis dengan bangga, eh, cuma dilirik belasan atau  puluhan pembaca. Jumlah votenya tak lebih dari lima. Komentar nihil. Â
Jangan ada lagi yang sok empati lalu bilang, "Tulisan akan menemukan pembacanya." Â Hei, itu perundungan. Sudah jelas pembacanya cuma belasan. Apanya yang ditemukan?
Saya trenyuh menyaksikan ketabahan rekan-rekan penulis novel di kanal Fiksiana. Â Tetap setia melangkah di jalan sunyi. Jalan yang dihindari mayoritas Kompasianer. Â Hanya manusia-manusia kuat yang mampu menyelami sepi.
Saya sendiri, kendati cuma penulis novel picisan, masih terbilang lumayanlah. Sudah menulis 24 episode novel kenthir Poltak. Â Rata-rata jumlah pembacanya 200 pencetan per episode. Jumlah vote di atas sepuluh. Komentar di atas lima. Saya boleh terharu, dong, untuk pencapaian itu. Â
Tapi bagaimana dengan rekan-rekan novelis lainnya? Untuk sebagian, karya mereka menurut saya layak dibaca. Tapi entah kenapa sepi pembaca. Mungkin karena orang lebih suka membaca gosip politik?Â
Kadang saya berpikir, penulis novel di Kompasiana itu ibarat pendaki gunung. Mendaki solo lewat jalur paling sepi. Â Ketemu orang syukur, ketemu mahluk halus syukur juga. Â Tujuannya cuma satu: puncak. Titik.
Atau mungkin para penulis novel itu ibarat pendongeng keliling.  Penjual mimpi kepada  siapa saja yang kebetulan ditemui di jalanan. Tapi, kita tahu, orang-orang masa kini tak lagi tertarik pada mimpi.
Pendaki gunung atau pendongeng keliling? Entahlah. Â Predikat itu saya pikir masih terlalu mewah. Â Mungkin kami, para novelis Kompasiana, lebih tepat dijuluki pengasong cerita.Â
Kami mengasong cerita kepada khalayak. Tapi lakon kami sebenarnya dipanggungkan di  masa yang salah. Atau kami yang salah, bukan masa. Ini masa disrupsi teks oleh konten audiovisual lewat kanal YouTube. Masa ketika orang lebih doyan melihat dan mendengar. Bukan membaca.
Tapi, para penulis novel saya pikir adalah orang-orang yang masih percaya pada kekuatan teks, narasi tulis. Â Itulah dasar kesetiaan kami pada bahasa tulis. Sejarah itu mengikuti garis melingkar. Setiap orang akan kembali ke asalnya. Â Dari teks kembali ke teks.
Saya sangat sadar, penulis novel di Kompasiana adalah kelompok marjinal yang dipinggirkan. Â Ada masalah struktural di sini. Â Masalah ketidakadilan. Mesin Kompasiana misalnya tidak didisain untuk mengangkat sebuah teks episode novel ke ruang "Terpopuler" saat meraih jumlah UV 100. Padahal UV 100 untuk novel bisa saja disetarakan dengan UV 300 untuk artikel politik.
Tapi, seperti sudah saya katakan, kami para novelis picisan ini adalah manusia-manusia kuat. Kami memilih jalan "Novel" dengan kesadaran penuh atas risiko kesepian. Karena itu, kami pantang mengemis perhatian. Tidak kepada rekan Kompasianer, tidak juga kepada Admin K. Tidak.
Jika saya menuliskan kisah derita ini, maka bukan bermaksud meraih simpati. Bukan. Saya hanya ingin mendokumentasikannya. Sebelum dia hilang ditelan lupa. Juga untuk mengurangi beban memori derita di benak.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H