Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #024] Pemabuk Kecil Siap Terbang

28 Oktober 2020   17:05 Diperbarui: 2 November 2020   14:23 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Oi! Bangun kau, Poltak!  Pagi buta mimpi!"  Poltak terlonjak duduk dari baringnya.  Dia merasa tubuhnya diguncang-guncang.  "Mengganggu orang tidur saja kau!" Neneknya merepet.

Poltak spontan merogoh saku bajunya. Uangnya masih ada.  Dicabut dan dihitungnya, masih genap enam rupiah.  Utuh. Masih tetap kaya raya. 

"Bah, mimpi rupanya aku, Ompung," gumamnya.   Lega hatinya.

"Uang saja di kepalamu.  Sampai mimpi buruk macam itu. Sini uangnya. Ompung simpan." 

Neneknya tak perlu persetujuan.  Uang enam rupiah langsung disambarnya dari genggaman Poltak.  Lalu diselipkan ke balik kutangnya.  Aman. Poltak pasrah.

Poltak tak tertarik lagi meneruskan tidurnya. Perlahan dia bangkit berdiri. Lalu beranjak ke dapur, berdiang di depan perapian.

Cahaya fajar semburat di timur.  Di luar sudah terang tanah.  Kesibukan persiapan pesta telah mulai.  

Terdengar seekor babi mengiak panjang. Nyaring di udara pagi. Lalu tiba-tiba senyap. Seutas tali nyawa telah putus.

"Poltak, bantu namboru membawa kopi ke penjagalan,"  Namboru Riama, putri sulung kakek nomor dua, Ama Riama minta tolong,  sambil menunjuk pada ceret berisi kopi panas.  Riama sendiri membawa cangkir-cangkir dan talam berisi lampet, kue putu khas Batak.

Penjagalan, di kebun belakang rumah,  sudah sibuk. Kelompok kerabat boru, pihak penerima isteri untuk buyut Poltak, sudah lengkap di sana.  Mereka menjalankan peran adatnya sebagai parhobas, pelayan pesta adat untuk hula-hula.

Kakek Poltak nomor empat, Ama Rotua  dan nomor enam, Ama Rugun si bungsu hadir juga di situ. Keduanya ikut bantu-bantu memotong dan mencincang daging babi.  

Setelah mendapatkan sepotong kecil leher babi bakar dari Ama Rotua, ompungnya, Poltak beranjak pergi. Memang itu saja yang diinginkannya. Bukan kaki babi bakar, upah membersihkan jeroan babi.  Itu hak anak-anak kampung Hutabolon.

Di dapur, para perempuan sedang sibuk menyiapkan nasi, air minum, dan peralatan makan. 

"Itu apa, namboru?"  Poltak mengamati Riama yang menuang cairan putih susu dari jerigen kecil ke dalam ceret aluminium. 

"Tuak na tonggi.  Untuk manulangi nanti,"  jawab Riama, singkat.  

"Tuak na tonggi?" Poltak membathin.  "Pasti nikmat itu.  Manis," pikirnya.  

Tuak na tonggi, tuak yang manis. Bahan baku gula aren itu aslinya memang manis.  Dia menjadi beralkohol kalau kulit kayu raru direndam di dalamnya.  

Poltak tak kuasa menahan hasrat.  Ketika Riama beranjak sejenak, secepat kilat diacmengangkat ceret dan, "Glek glek glek," menenggak tuak langsung dari paruh ceret.  

Aneh. Poltak tidak merasakan manis di lidahnya. Sebaliknya justru agak pahit. Tapi segar.  

Ketika Riama kembali, Poltak tak bertanya soal rasa pahit tuak na tonggi itu.   Takut ketahuan congok mencuri tuak. Bisa kena marah.   Soalnya, itu tuak khusus untuk kakek-nenek buyutnya.

"Oi, Poltak.  Ke sini kau.  Kita mau manulangi sekarang,"  bapak Si Poltak memanggil dari ruang tengah.  

Poltak bangkit melangkah.  Dia merasa semakin aneh. Badannya terasakan enteng. Seakan bisa terbang. Tapi langkahnya limbung.

Seluruh kerabat Dalihan Na Tolu, hulahula, dongantubu dan boru, sudah hadir lengkap.  Itu keharusan. Tanpa kehadiran tiga kelompok itu, adat manulangi dianggap cacat.

Kakek Poltak, sebagai anak tertua, menatang makanan sulang-sulang ke hadapan kakek-nenek buyut Poltak.  Makna makanan lalu disampaikan dengan bahasa adat.

"O, Among dan Inong yang kami kasihi.  Pada hari yang baik ini,  seluruh keturunanmu hadir di hadapanmu. Semua putra dan putrimu, pasangan hidupnya, serta cucu-cucu dan cicit-cicitmu.  Hadir pula raja hulahula yang merestui dan raja boru yang mendukung adat ini."

Makanan sulang-sulang lengkap dalam wadah talam diletakkan di hadapan buyut Poltak. Nasi putih, daging saksang babi, air bening, dan tuak na tonggi.   

Seluruh anak, menantu, cucu dan cicit, dari yang tertua sampai yang termuda, baris bersimpuh saling sentuh menyampaikan makanan sulang-sulang.

"Di sini kami sampaikan sulang-sulang.  Nasi hangat, lauk daging, air bening, dan tuak na tonggi.  Semoga itu semua menyehatkan tubuhmu, o Among dan Inong, mencerahkan wajah, meringankan tulang-tulang dan menjernihkan penglihatan."

"Andor halumpang togu-toguni lombu, mamboan hu onan gambiri.  Saur matua ma  hamu   Among dohot hamu Inong pairing-iring pahompu sahat hu namarnono dohot marnini."  

Itu sebait doa, "Batang rambat halumpang  jadi tali tunda lembu, untuk dibawa ke pekan kemiri. Panjang umurlah Among dan Inong mengiring cucu hingga sampai bercicit dan bercanggah."

"Ima tutu!"  Seluruh hadirin mengamini, "Jadilah demikian!"

Setelah itu makanan, nasi dan saksang, disulangkan kepada kakek-nenek buyut Poltak.  Dilanjutkan dengan tegukan air bening dan tuak na tonggi. 

Semua anak, menantu, cucu, sampai cicit, mulai dari yang tertua sampai yang termuda wajib menyulangkan makanan.  

Tapi tentu saja tidak benar-benar semua menyulangkan.  Tak mungkinlah perut kakek-nenek buyut Poltak  muat oleh puluhan suap makanan dan puluhan teguk tuak. 

Jika diperturutkan begitu,  maka mereka berdua pastilah akan mati kekenyangan, sebelum semua cucu dan cicitnya sempat menyulangkan makanan.  

Semua cucu cukup diwakili cucu sulung, Amani Poltak.  Cucu yang lain berbaris di belakangnya. 

Semua cicit cukup diwakili cicit sulung, Poltak. Cicit yang lain berbaris di belakangnya.

"Ayo, Poltak. Sampaikanlah sulang-sulang dari cicit kepada buyutmu,"  kakek Poltak mempersilahkan.

Poltak berdiri, melangkah ke depan kakek-nenek buyutnya.  Tapi tubuhnya serasa melayang, langkahnya limbung.  Kepalanya seolah hilang entah ke mana.

"Bah! Kenapa pula kau, Poltak."  Kakeknya keheranan.

"Kenapa rupanya," sahut Poltak.  Suaranya mengambang. Pandangannya tidak fokus.  Matanya merah.

"Bah! Kesurupan arwah kakek kita rupanya Si Poltak itu.  Pegang dia."  Ompung nomor dua, Ama Riama berteriak. Semua hadirin percaya.  Ama Riama diketahui mampu melihat mahluk halus.

Lalu sukacitalah hadirin. Mereka pikir adat manulangi itu direstui oleh kakek moyang mereka yang hadir lewat tubuh Poltak.

Poltak diam saja.  Dia tidak merasa dirinya kesurupan roh leluhurnya.  Dia hanya merasa kepalanya hilang, badannya melayang, penglihatannya kabur.

Tak seorangpun tahu, Poltak diam-diam sudah menenggak tuak na tonggi tadi.  Tanpa sadar tuak na tonggi itu hanya istilah.  Sebenarnya tuak itu sudah diberi raru sehingga beralkohol. Poltak tidak sadar dirinya kini sedang mabuk tuak.

Dibimbing oleh kakeknya, akhirnya Poltak berhasil juga menyulangkan makanan dan meminumkan tuak kepada kakek-nenek buyutnya.  

Semua hadirin lega, puas, dan bahagia. Semua beranggapan bahwa leluhur telah hadir di tengah mereka.

Acara manulangi dan makan bersama usai sudah. Sambungannya, sesuai janji, kakek-nenek buyut Poltak membagikan warisan untuk anak-anaknya. Sawah, rumah dan pusaka keluarga.

Keputusan orangtua tentang warisan itu mutlak. Tidak seorangpun boleh mendebatnya. Keadilannya tak boleh diragukan.  Hula-hula dan boru menjadi saksinya.  

Poltak tidak tertarik dengan urusan pembagian warisan itu.  Dia ingin turun ke halaman, mencari udara segar.  Di dalam rumah terasa sumpek baginya.   

Dia lalu bangkit, terhuyung, melangkah ke arah jendela yang terbuka.

"Oi, Poltak! Mau kemana kau!"  Kakek nomor empat, Ama Rotua,  berteriak.

"Hah. Apa. Mau terbang ke luar," sahut Poltak datar, tanpa ekspresi, sambil mendekati bibir jendela. Memang dia merasa tubuhnya seakan terbang melayang.

"Oi, Parandum!  Tangkap Si Poltak itu," Ama Rugun, kakek bungsu, berteriak, khawatir.  Seketika suasana menjadi heboh. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun