Setelah panen terbitlah pesta. Dari pesta adat, pesta gotilon, syukuran panen sampai gondang naposo, pesta muda-mudi. Begitulah budaya agraris Batak Toba. Tak terkecuali dengan warga kampung Panatapan.
"Ompungni Poltak, besok sore kita ke Hutabolon. Menginap di sana." Ujaran kakek Poltak terdengar seperti maklumat. "Lusa kita manulangi Among dan Inong. Siapkanlah keperluan kita," lanjutnya. Tak perlu dirinci. Nenek Poltak sudah paham apa saja yang perlu dibawa.
Selepas pembicaraan dengan kedua orangtuanya di Hutabolon, kakek Poltak telah berkirim surat kepada adik-adiknya di Sumatera Timur. Memberi tahu kesediaan orangtua mereka untuk menjalani adat manulangi. Sekaligus mengingatkan agar mereka datang pada hari baik yang telah ditetapkan sesuai parhalaan, penanggalan Batak.
Seminggu yang lalu kakek Poltak sudah mendapat surat balasan dari adik-adiknya. Memberitahu kesediaan mereka untuk hadir menjalankan adat manulangi di Hutabolon. Â
Surat-menyurat itu terlaksana lewat jasa supir bus jurusan Toba-Medan. Kakek Poltak, dengan imbalan uang rokok, menitipkan surat untuk adiknya kepada supir bus itu. Â Supir bus menjatuhkan surat di depan sebuah kedai, Â di tempat yang telah ditentukan di Sumatera Timur. Lalu pemilik kedai, lewat seseorang, Â meneruskan surat itu ke alamat tujuan. Hal sebaliknya berlaku pula untuk surat balasan.
Sungguh, mereka tak memerlukan Kantor Pos. Supir bus sangat bisa diandalkan. Sejauh pengalaman, tak pernah ada surat yang tak sampai ke tujuan.
Hari besok cepat tiba. Â Cukup dengan mengantar matahari tenggelam di barat lalu menyambutnya kembali nongol di timur.Â
Semua anak dan menantu dari kakek-nenek buyut Poltak, dan beberapa orang anak mereka, Â sudah berkumpul di rumah besar Hutabolon. Â Suasana sungguh ramai. Tawa dan sapa silih berganti.Â
"Oi, Poltak, sudah besar kau, amang." Berulang kali ucapan itu diterima Poltak dari para kakek-neneknya yang bermukim di Sumatera Timur. Juga dari para amangudanya. Â Semua ramah pada Poltak. Semua memujinya elok rupa. Â Kecuali jika ingusnya sedang meler.
Tapi bukan keramahan itu, bukan pula segala pujian, yang bikin hati Poltak berbunga-bunga. Â Melainkan uang. Â Ya, uang. Â
Tiga orang kakeknya yang datang dari Sumatera Timur memberinya uang, serupiah masing-masing. Lalu seorang neneknya, anak perempuan buyutnya, memberi serupiah juga. Kakeknya yang tinggal di Hutabolon menambahkan satu rupiah. Â Sehingga Poltak punya kekayaan lima rupiah. Â