Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #022] Kewajiban Dalam Berkah Panen

21 Oktober 2020   15:42 Diperbarui: 22 Oktober 2020   04:25 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan Poltak namanya kalau jatuh tanpa berhitung. Sambil mendorong tiang bantingan dengan kakinya, dia membiarkan dirinya jatuh seperti nangka busuk ke lumpur sawah.  Bantingan urung tumbang, Poltak sukses berlumur lumpur.

Tapi, bagi warga Panatapan, lumpur adalah bedak riasan wajib di masa panen padi. Dia penanda kegembiraan menyambut berkah. Tanpa lumuran lumpur sawah di badan, kegembiraan panen tidak sah.

Doa orang Batak kepada Mulajadi Nabolon, "Sai sinurma pinahan, gabema niula,"  beranak-pinaklah ternak dan saratlah panenan sawah. Jika panen berhasil baik, berarti doa terkabul. Karenanya setiap orang selayaknya bersuka-ria.

"Jangan banyak-banyak kau bawa, Poltak," Parandum mengingatkan, "Nanti berceceran."   Poltak memaksakan diri mengangkut sekaligus dua tibalan, tumpukan rumpun padi yang baru disabit.  

Tibalan-tibalan itu diangkut lalu ditumpuk membentuk sebuah luhutan, timbunan besar melingkar penuh. Mengangkat tibalan dan membentuk luhutan adalah pekerjaan laki-laki. Tugas perempuan, menyabit padi.  

Rumpun padi di luhutan harus diinapkan dulu satu malam.  Agar bulir-bulirnya mudah lepas saat dibantingkan ke dasor, papan perontokan pada bantingan.

Itu artinya dua hari panen. Lalu dua ekor ayam menjadi gulai.  Itulah yang paling disukai Poltak. Dua hari makan pakai lauk gulai ayam.

Dokpri
Dokpri
Hari pertama, waktu potong padi, telah berlalu. Hari kedua, waktu perontokan, pembersihan dan pengangkutan gabah ke rumah, sudah tiba.

"Poltak, bantu bapak angkat padi ke samping bantingan," perintah bapaknya.  Poltak dan bapaknya mengumpan para perontok.

Perontokan adalah ban berjalan.  Pengumpan menyediakan tumpukan batang padi. Lalu perontok pertama membanting dua kali.  Pindah ke orang kedua, banting empat kali.  Geser ke orang ketiga, banting enam kali.  Akhirnya ke panarsari, pengurai berkas jerami, agar gabah yang terselip jatuh, sebelum dibuang.

"Cepatlah umpannya, Poltak!" teriak Parandum, amangudanya, perontok pertama.  Poltak terpontal-pontal mengumpan.  Dia kalah cepat. Bapaknya sedang duduk istirahat merokok.

Kerja perontokan usai sepagian.  Selepas makan siang, menyusul kerja pembersihan, lalu pengangkutan gabah ke rumah.

"Poltak, kau naiklah ke atas bantingan. Awas jatuh lagi!"  perintah kakek Poltak. Saatnya pembersihan gabah.  

"Irrr!"  Poltak berteriak panjang memanggil angin. Dia menuang gabah dari atas bantingan.  Tiupan angin, dibantu kipasan tampah, menerbangkan gabah hampa, potongan malai, dan potongan daun padi. Tinggallah gabah bersih menumpuk di bawah bantingan seperti kerucut butiran emas.  

"Bah.  Bagus kali panen kali ini, Amangtua," seseorang tiba-tiba menyapa.  

"Bah, kau rupanya Ama Lumongga,"  Kakek Poltak menyahut.  "Ee, ompung ni Poltak, Raja Bondar datang.  Kau berikanlah upah raja kita ini." Kewajiban kepada Raja Bondar harus dipenuhi.

Ama Lumongga, warga Toruan yang punya sawah di Panatapan, tahun ini menjadi Raja Bondar, pengawas tali air.  Tugasnya menjamin kelancaran air irigasi, memeriksa keadaan tali air dan memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil tanggul. Untuk tugas itu, pada saat panen Raja Bondar mendapat upah gabah dari para pemilik sawah.

"Ei, Poltak," tegur Ama Lumongga, "Waktu kalian panen gorat di Sibatuloting, kenapa lari lintang-pukang.  Aku teriaki dari belakang, takada pun yang dengar."

"Bah, itu amanguda Raja Bondar rupanya.  Kami pikir Ompung Raja Hutan yang mau lewat."  Jawaban Poltak disambut gelak-tawa.  Kisah heroik lepas dari kejaran harimau Sibatuloting berakhir antiklimaks.

"Poltak, kau pergilah ke sawah Ama Ringkot sana. Ini, bayarkan tunda kerbau kita ke padi daratnya dulu."  Kakek Poltak mengangsurkan sekarung kecil gabah untuk disampaikan kepada Ama Ringkot. Kewajiban denda tunda mesti dilunasi.

"Matilah aku.  Ama Ringkot lagi," rutuk Poltak dalam hati, sambil meniti pematang menuju sawah Ama Ringkot.   Di sana Ama Ringkot dan keluarganya sedang panen juga.

"Binsar!  Bistok!  Ayo! Bayar tunda!"  Poltak berteriak mengajak dua temannya yang sedang panenan di sawah masing-masing. Dia ogah sendirian. Bertiga lebih aman.

Saling mengerti isi kepala,  tak berapa lama, Binsar dan Bistok bergabung dengan Poltak.  Masing-masing membawa sekarung kecil gabah juga.  Beriring meniti pematang menuju sawah Ama Ringkot.

"Bah.  Ada apa kalian bertiga, bodat-bodat, datang ke sini," sambut Ama Ringkot.  

"Mau bayar tunda ke kakek bodat." Hampir saja ujaran itu terloncat dari mulut Poltak.

"Mau menyerahkan tunda, Ompung," jawab Poltak sesantun mungkin.  Adat Batak memang keterlaluan. Anak kecil dipaksa harus santun kepada orang tua yang tutur katanya tak santun.

"Oh, iya.  Lain kali jaga kerbaunya, ya. Sini kalian."

Tiga sekawan itu saling pandang satu sama lain. Takada yang mau bergerak mendekati Ama Ringkot. 

Saling tahu isi hati, serentak bertiga meletakkan gabah bayaran tunda, lalu seketika balik kanan siap kabur.

"Lari!"  Poltak berteriak memberi aba-aba. 

Ketiganya lari berlompatan dari satu ke lain pematang sawah.  Melepaskan diri dari teror bau nafas Ama Ringkot.

"Oi, bodat! Jangan lari! Makan dulu! Masih ada gulai ayam!"  Ama Ringkot berteriak.

Demi mendengar tawaran gulai ayam, Poltak, Binsar dan Bistok mendadak berhenti.  Bertiga saling pandang.  Tiga jakun kecil turun naik, meneguk liur terbit. (Bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun