Kerja perontokan usai sepagian. Â Selepas makan siang, menyusul kerja pembersihan, lalu pengangkutan gabah ke rumah.
"Poltak, kau naiklah ke atas bantingan. Awas jatuh lagi!" Â perintah kakek Poltak. Saatnya pembersihan gabah. Â
"Irrr!" Â Poltak berteriak panjang memanggil angin. Dia menuang gabah dari atas bantingan. Â Tiupan angin, dibantu kipasan tampah, menerbangkan gabah hampa, potongan malai, dan potongan daun padi. Tinggallah gabah bersih menumpuk di bawah bantingan seperti kerucut butiran emas. Â
"Bah. Â Bagus kali panen kali ini, Amangtua," seseorang tiba-tiba menyapa. Â
"Bah, kau rupanya Ama Lumongga," Â Kakek Poltak menyahut. Â "Ee, ompung ni Poltak, Raja Bondar datang. Â Kau berikanlah upah raja kita ini." Kewajiban kepada Raja Bondar harus dipenuhi.
Ama Lumongga, warga Toruan yang punya sawah di Panatapan, tahun ini menjadi Raja Bondar, pengawas tali air. Â Tugasnya menjamin kelancaran air irigasi, memeriksa keadaan tali air dan memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil tanggul. Untuk tugas itu, pada saat panen Raja Bondar mendapat upah gabah dari para pemilik sawah.
"Ei, Poltak," tegur Ama Lumongga, "Waktu kalian panen gorat di Sibatuloting, kenapa lari lintang-pukang. Â Aku teriaki dari belakang, takada pun yang dengar."
"Bah, itu amanguda Raja Bondar rupanya. Â Kami pikir Ompung Raja Hutan yang mau lewat." Â Jawaban Poltak disambut gelak-tawa. Â Kisah heroik lepas dari kejaran harimau Sibatuloting berakhir antiklimaks.
"Poltak, kau pergilah ke sawah Ama Ringkot sana. Ini, bayarkan tunda kerbau kita ke padi daratnya dulu." Â Kakek Poltak mengangsurkan sekarung kecil gabah untuk disampaikan kepada Ama Ringkot. Kewajiban denda tunda mesti dilunasi.
"Matilah aku. Â Ama Ringkot lagi," rutuk Poltak dalam hati, sambil meniti pematang menuju sawah Ama Ringkot. Â Di sana Ama Ringkot dan keluarganya sedang panen juga.
"Binsar! Â Bistok! Â Ayo! Bayar tunda!" Â Poltak berteriak mengajak dua temannya yang sedang panenan di sawah masing-masing. Dia ogah sendirian. Bertiga lebih aman.