"Hah! Matilah  aku!"  Poltak membelalak, disambut gelak-gelak tawa semua orang. Â
"Ayo. Â Kita mulai panen," Â aba-aba dari kakek Poltak. "Amani Poltak, Parandum dan kau Poltak, ayo kita mendirikan bantingan padi."
Teknologi bantingan padi itu dipelajari kakek Poltak dari kerabatnya yang tinggal di Sumatera Timur. Sebelumnya, perontokan gabah di Panatapan menggunakan teknik mardege, menginjak-injak malai padi. Risikonya, telapak kaki bisa tertusuk ekor gabah. Â
Teknologi bantingan memudahkan kerja perontokan padi. Â Malai padi cukup dibantingkan ke dasor bantingan, butir-butir gabah langsung rontok.
Tak perlu waktu lama untuk mendirikan kerangka bantingan itu. Komponen-komponennya sudah disiapkan: empat tiang, empat pasak pendek, empat pasak panjang, dan satu dasor -- papan bantingan. Tinggal dirakit, beres.
"Poltak, kau naiklah ke atas bantingan. Â Kita mau pasang tirai," perintah ayah Poltak.
Soal panjat-memanjat, Poltak hanya kalah dari tupai. Â Itu keahliannya. Â Dengan cepat dia memanjat tiang kerangka bantingan untuk naik ke atas.
Tapi, belum juga Poltak tiba di atas, mendadak kerangka bantingan itu bergerak hendak rubuh. Â
"Poltak! Awas!" Â Bapaknya berteriak mengingatkan. Sambil mencoba menahan tiang bantingan agar tidak sampai rubuh.
Yah, seperti sudah dikatakan, soal panjat-memanjat, Poltak  hanya kalah dari tupai.  Tapi bahkan seekor tupai pun sesekali jatuh juga karena salah hitung gravitasi. Jadi, adilkah menuntut Poltak untuk jangan sekali-kali jatuh? (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H