"Sawah itu, pada hari ini, kami berikan kepada Poltak, cucu pertama dari anak sulung kami, sebagai dondon tua. Semua yang hadir di sini menjadi saksi."Â
Suasana hening. Â Penyampaian dondon tua, limpahan berkah untuk cucu pertama, itu terasa dramatis ketika dilakukan di tengah hamparan padi menguning. Â Tidak ada suara. Tapi semua wajah tersenyum. Gembira atas limpahan berkah untuk Poltak.
Pemberian sawah dondon tua adalah kelaziman adat Batak.  Melalui pemberian itu, Poltak diharapkan mewarisi wibawa, keutamaan, dan rejeki kakeknya. Sehingga langkahnya ke depan tiada halangan dan hidupnya kelak tiada kekurangan.Â
Itulah keistimewaan cucu tersulung dalam keluarga Batak. Keistimewaan Poltak pula. Kini dia satu-satunya anak kecil yang punya sebidang sawah di Panatapan. Binsar tidak, Bistok juga tidak.
"Poltak! Kau ke sanalah. Â Berjalanlah mengelilingi sawahmu itu," Â perintah kakeknya. Â Poltak segera berlari cepat meniti pematang. Â
"Mulai dari pematang kelima dari atas!" kakeknya memberi petunjuk.  Poltak mengayunkan langkahnya dengan cepat di atas pematang, mengitari bidang sawah dondon tua itu.
"Nah, selesai. Sah, itu sawahmu, Poltak, cucuku!" teriak kakeknya lagi, setelah Poltak selesai memutari areal sawah itu. Kira-kira seperempat hektar luasnya.Â
Kini berlakulah hukum adat paruma tano paruma gogo atas sebidang sawah dondon tua itu. Poltak adalah paruma tano, pemilik tanah sawah. Sedangkan kakek-neneknya adalah paruma gogo, pemilik padi hasil sawah itu, sepanjang sisa usia mereka.
"Terimakasih banyak, Ompung, atas pemberian ini. Semoga menjadi berkah untuk kita sekeluarga." Poltak tak perlu diajari untuk berterimakasih. Â Kata dan kalimat adat sudah tertanam dalam benaknya.
Kakek dan neneknya tersenyum bahagia sambil mengelus-elus kepala Poltak. Â Ayah dan ibunya tampak haru campur bangga. Berkah anak adalah karunia orangtua. Â
"Nah, Poltak. Â Sawah itu, kan, sekarang milikmu. Kau panen sendirilah sana. Â Nanti hasilnya kau angkutlah ke rumah Ompung," goda kakeknya.