Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #018] Sesama Bodat Saling Menghargai

12 Oktober 2020   07:30 Diperbarui: 13 Oktober 2020   07:32 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Poltak! Ayo, berangkat!" Teriakan Bistok mengagetkan Poltak yang sedang makan siang di dapur.  Sempat dia tersedak sedikit.  

Kemarin Poltak, Binsar dan Bistok bersepakat ikut panen gorat, mangga hutan, ke rimba Sibatuloting. Mereka ikut dalam satu rombongan bersama Togu, Ramot dan Marihot. Ketiganya anak-anak kelas lima Sekolah Dasar.  

Kepala rombongan adalah Hotman, abang Si Bistok. Di Panatapan anak kecil tidak boleh pergi ke hutan tanpa kawalan orang dewasa.  

Beberapa hari terakhir, warga Panatapan menemukan beberapa buah gorat di pancuran. Buah-buah itu terbawa aliran air irigasi dari hutan. Pertanda pohon gorat Sibatuloting sudah siap panen.

"Ayo, aku siap," Poltak bergabung dengan rombongan yang sudah menunggu di depan rumah. Seperti yang lain, dia membawa hadang-hadangan, tas cangklong anyaman mendong untuk wadah buah gorat. Juga sebilah parang, barangkali diperlukan untuk meneroka jalan di hutan.

Perjalanan dari Panatapan ke rimba Sibatuloting makan waktu kurang lebih dua jam. Jalurnya menyusur tanggul tali air, saluran irigasi tradisional yang berpangkal di Sibatuloting. Tali air itu satu-satunya sumber pengairan sawah, sekaligus air bersih, untuk Panatapan.

Menurut cerita kakek Poltak, tali air itu dibuka oleh para warga perintis Panatapan dan, sebagian, warga perintis di Toruan. Kakek Poltak, salah seorang dari para perintis, waktu itu didaulat sebagai pemimpin pembukaannya.

"Hati-hati. Jangan sampai terpeleset. Nyawa melayang." Hotman mengingatkan saat rombongan melewati ruas tanggul tali air di salingsing, tebing batu curam. Pada ruas itu tali air dibangun dengan menakik tebing batu, sekitar limapuluh meter tingginya dari dasar salingsing. 

Berada di sisi selatan tali air, dasar salingsing itu adalah sebuah ngarai.  Itulah ngarai Siarimo, lembah hijau yang dialiri sungai kecil yang melewati Losung Aek di Toruan, sebelum bermuara jauh sebagai air terjun di pantai timur Danau Toba. 

Dinamai Siarimo karena, kata para orangtua, ekor ngarai itu, di bawah Sibatuloting, adalah jalur lintasan penyeberangan harimau dari hutan Simarnaung di utara ke rimba Simanukmanuk di selatan.

Pada musim kemarau, ngarai Siarimo dimanfaatkan warga Panatapan sebagai lajangan, tempat kerbau dilepas bebas merumput. Pagi dilepas, sore dijemput.

Perjalanan ke Sibatuloting pada sore itu adalah penikmatan simponi alam. Gemericik air, desir angin, desau dedaunan, dan keretak ranting patah. Kericau cucak-rawa, kicau kepodang, ruku tekukur, dekut punai, derik jangkrik, kecer tonggeret, korek kodok, kokok ayam hutan, cicit tupai, siul elang dan gaung lutung.  Oleh udara sejuk, semua bunyi itu digubah menjadi sebuah mahakarya simponi alam yang indah.

Alam komponis mahajenius. Tidak ada komponis yang mampu menandinginya.  Tidak juga Mozart, Bach, dan Beethoven.  Pun tidak Chopin dan Tchaikovsky.

Tiba-tiba harmoni simponi alam itu ambyar oleh lengking jerit pilu seekor babi hutan dari arah rimba Simanukmanuk. Rombongan terhenti. Saling-pandang. Wajah-wajah kembut, dicekam ketakutan. Terutama Poltak, Binsar dan Bistok.

"Tidak apa-apa. Ompung kita sudah mendapatkan buruannya. Setelah makan dia pasti istirahat. Aman. Ayo, jalan terus." Hotman menenangkan. Ompung, sebutan santun orang Batak untuk harimau, tidak akan menyerang manusia setelah makan kenyang.  

Poltak menciduk air irigasi dengan telapak tangan, lalu meneguknya. Kerongkongannya yang tadi terasa kering karena takut kini terasa segar lagi. Langkah sepasang kaki kecilnya kembali bersemangat.

"Siapa yang menanam pohon gorat itu, Bang." Bistok bertanya, memecah bisu. Hotman, abangnya, hanya menggeleng. Tidak tahu.

"Sebelum tali air ini dibikin, pohon gorat itu sudah ada," timpal Poltak. "Itu kata ompungku."

"Bistok tanya siapa yang tanam, Poltak," sergah Marihot.

"Tak tahulah aku. Mungkin bodat." Poltak menjawab sekenanya. Tapi, sangat mungkin memang begitu. Itu ulah bodat, monyet hutan.

"Bah! Bodat!" Tiba-tiba Hotman setengah berteriak. Telunjuknya mengarah ke pohon gorat. Mereka sudah tiba di tujuan.  "Kita keduluan bodat," lanjutnya.

Rombongan berhenti.  Semua mata tertuju ke pohon gorat raksasa yang tegak menjulang pada lereng selatan tali air.  Buahnya sarat bergelantungan menerbitkan liur.  Sekawanan bodat, monyet ekor panjang sedang menikmati gorat ranum di atas pohon. Seolah tidak peduli pada kehadiran rombongan itu.

Tiba-tiba seekor dari kawanan monyet itu, badannya paling besar, melompat ke dahan terbawah. Duduk di situ, dia pamer giginya kepada rombongan Poltak.  

"Itu jonggolnya," bisik Hotman, "Jangan ada yang bergerak. Diam semua. Lihat saja dia." Jonggol, monyet jantan pemimpin kawanan, itu sedang mengirim peringatan, "Jangan ganggu kami."

"Lihat saja? Kenapa kita tidak usir saja, Amanguda?" tanya Poltak heran. Hotman, juga Bistok dengan sendirinya, terbilang amanguda, bapak muda untuknya.

"Jangan dongok kau, Poltak. Bisa habis kita dikeroyok nanti," sambar Marihot, berbisik tajam. Hotman mengangguk.

"Poltak, pohon gorat itu milik mereka. Hak penghuni hutan sini. Monyet, lutung, tupai, burung. Kita ini minta pada mereka. Masa peminta-minta  mengusir pemilik?" Hotman memberi alasan.

"Sesama bodat harus saling menghargai," lanjutnya. Poltak, Binsar dan Bistok mendelik. 

"Ya, kita semua. Kita dan mereka satu kerabat bodat." Hotman menegaskan. Maksudnya satu ordo, primata, tapi Hotman tidak tahu istilah itu. Sudah terbilang hebatlah itu untuk seorang pemuda kampung yang tak lulus Sekolah Rakyat.

"Memang mereka mau pergi kalau dilihati?" Binsar ikut bertanya. Hotman hanya melirik.

Tak berapa lama kemudian, monyet jonggol itu memekik nyaring.  Seekor monyet lain, dengan bayi menempel di dadanya, melompat menghampirinya.

"Itu istrinya," desis Hotman.

"Bah, kalau monyet saja bisa dapat istri, kenapa Amanguda Hotman tidak bisa." Hampir saja pertanyaan kurang ajar itu terlontar dari mulut Poltak. Untung dia bisa menahan diri.

Jonggol itu memekik lagi lalu berbalik melompat pergi ke arah hutan sebelah timur.  Monyet-monyet lain segera riuh  berlompatan mengkuti pimpinan mereka. Perut kenyang, pulang senang. 

"Kenapa mereka mau pergi, Amanguda?" tanya Poltak, takjub melihat kejadian itu.

"Karena mereka malu telanjang," Hotman menjawab sembarang. 

"Ayo.  Poltak, Marihot, panjat sana. Lainnya di bawah mengumpul gorat jatuh." Hotman membagi tugas.

Batang pohon gorat itu terlalu besar untuk bisa dipanjat. Kelilingnya kurang-lebih tiga pelukan orang dewasa. Meniru cara bodat, Poltak dan Marihot harus naik melalui batang pohon-pohon kecil yang tegak melintasi ujung-ujung dahan pohon gorat itu.

"Aduh! Bodat! Lihat-lihat orang di bawah!"  Hotman berteriak mengingatkan. Sebuah gorat ranum telah menimpa kepalanya, sesaat setelah Poltak menggoncang dahan gorat di atas.  

Begitulah cara mereka memanen buah gorat.  Poltak dan Marihot berlompatan dari satu ke lain dahan di atas pohon, menggoncangnya sehingga buah-buah gorat rontok lepas dari tampuknya. Di bawah, Hotman dan lainnya sibuk memunguti gorat jatuh sambil menjaga kepala tidak tertimpa hujan gorat dari atas.  

"Poltak! Marihot! Cukup! Turun!" Hotman berteriak untuk menyudahi panen gorat.

"Masih banyak buahnya, Bang!" Marihot coba menampik.

"Jangan serakah kau. Sisakan untuk bodat-bodat hutan sini. Kalau tidak, jagung bapakmu di ladang nanti hajap dilalapnya." Hotman mengingatkan. 

Itulah kearifan Panatapan.  Buah-buahan hutan harus tetap tersedia untuk monyet, lutung, dan tupai. Kalau tidak, mereka akan menyerbu ladang warga.

Hotman membagi hasil panen gorat. Poltak, Binsar, Bistok, Togu, Ramot dan Marihot, masing-masing mendapat satu hadang-hadangan penuh. Hotman sendiri membawa sekarung penuh. Nanti akan dibagi-bagi pada warga Panatapan yang tak ikut panen ke hutan.  Itu prinsip sama rata sama rasa. Masam sama mules, manis sama woles.

"Kresek, kretak," bunyi dedaunan dan ranting patah terinjak di lantai hutan sebelah timur, segaris  jalur penyeberangan harimau di ekor lembah Siarimo. Rombongan itu saling pandang satu sama lain. Lagi, wajah-wajah kembut.

"Ayo, jalan, cepat. Jangan ada suara," Hotman berbisik, memimpin rombongan bergegas pulang.  

"Kretak," bunyi ranting remuk terinjak terdengar lagi. Semakin mendekat.  Langkah-langkah kaki dipercepat.

"Lari!" Hotman berbisik tajam. Tujuh pasang kaki serentak bergerak seperti melayang di atas tanggul tali air. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun