Jonggol itu memekik lagi lalu berbalik melompat pergi ke arah hutan sebelah timur.  Monyet-monyet lain segera riuh  berlompatan mengkuti pimpinan mereka. Perut kenyang, pulang senang.Â
"Kenapa mereka mau pergi, Amanguda?" tanya Poltak, takjub melihat kejadian itu.
"Karena mereka malu telanjang," Hotman menjawab sembarang.Â
"Ayo. Â Poltak, Marihot, panjat sana. Lainnya di bawah mengumpul gorat jatuh." Hotman membagi tugas.
Batang pohon gorat itu terlalu besar untuk bisa dipanjat. Kelilingnya kurang-lebih tiga pelukan orang dewasa. Meniru cara bodat, Poltak dan Marihot harus naik melalui batang pohon-pohon kecil yang tegak melintasi ujung-ujung dahan pohon gorat itu.
"Aduh! Bodat! Lihat-lihat orang di bawah!" Â Hotman berteriak mengingatkan. Sebuah gorat ranum telah menimpa kepalanya, sesaat setelah Poltak menggoncang dahan gorat di atas. Â
Begitulah cara mereka memanen buah gorat. Â Poltak dan Marihot berlompatan dari satu ke lain dahan di atas pohon, menggoncangnya sehingga buah-buah gorat rontok lepas dari tampuknya. Di bawah, Hotman dan lainnya sibuk memunguti gorat jatuh sambil menjaga kepala tidak tertimpa hujan gorat dari atas. Â
"Poltak! Marihot! Cukup! Turun!" Hotman berteriak untuk menyudahi panen gorat.
"Masih banyak buahnya, Bang!" Marihot coba menampik.
"Jangan serakah kau. Sisakan untuk bodat-bodat hutan sini. Kalau tidak, jagung bapakmu di ladang nanti hajap dilalapnya." Hotman mengingatkan.Â
Itulah kearifan Panatapan. Â Buah-buahan hutan harus tetap tersedia untuk monyet, lutung, dan tupai. Kalau tidak, mereka akan menyerbu ladang warga.