Tiba-tiba seekor dari kawanan monyet itu, badannya paling besar, melompat ke dahan terbawah. Duduk di situ, dia pamer giginya kepada rombongan Poltak. Â
"Itu jonggolnya," bisik Hotman, "Jangan ada yang bergerak. Diam semua. Lihat saja dia." Jonggol, monyet jantan pemimpin kawanan, itu sedang mengirim peringatan, "Jangan ganggu kami."
"Lihat saja? Kenapa kita tidak usir saja, Amanguda?" tanya Poltak heran. Hotman, juga Bistok dengan sendirinya, terbilang amanguda, bapak muda untuknya.
"Jangan dongok kau, Poltak. Bisa habis kita dikeroyok nanti," sambar Marihot, berbisik tajam. Hotman mengangguk.
"Poltak, pohon gorat itu milik mereka. Hak penghuni hutan sini. Monyet, lutung, tupai, burung. Kita ini minta pada mereka. Masa peminta-minta  mengusir pemilik?" Hotman memberi alasan.
"Sesama bodat harus saling menghargai," lanjutnya. Poltak, Binsar dan Bistok mendelik.Â
"Ya, kita semua. Kita dan mereka satu kerabat bodat." Hotman menegaskan. Maksudnya satu ordo, primata, tapi Hotman tidak tahu istilah itu. Sudah terbilang hebatlah itu untuk seorang pemuda kampung yang tak lulus Sekolah Rakyat.
"Memang mereka mau pergi kalau dilihati?" Binsar ikut bertanya. Hotman hanya melirik.
Tak berapa lama kemudian, monyet jonggol itu memekik nyaring. Â Seekor monyet lain, dengan bayi menempel di dadanya, melompat menghampirinya.
"Itu istrinya," desis Hotman.
"Bah, kalau monyet saja bisa dapat istri, kenapa Amanguda Hotman tidak bisa." Hampir saja pertanyaan kurang ajar itu terlontar dari mulut Poltak. Untung dia bisa menahan diri.