Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #014] Tamu dari Timur

30 September 2020   15:45 Diperbarui: 1 Oktober 2020   10:28 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dusain Sampul: Felix Tani; Foto: Erabaru.com

Kilau mata bilah belati itu menebar hawa teror dari genggaman nenek Poltak.

"Sini. Bantu ompung menyembelih ayam."  Nenek Poltak minta bantuan.  Seekor ayam akan disembelih. 

Pandangan Poltak tertumbuk pada seekor ayam yang terkurung di bawah keranjang rotan di samping tungku.

"Bah, sedap kali.  Pantat bocor, selamatan makan gulai ayam," sorak Poltak dalam hati.  Mendadak rona wajahnya cerah ceria.  "Bagus juga kalau pantat kiri minggu depan bocor pula," terawangnya.

"Sore ini kita akan kedatangan tamu. Potong ayam untuk menjamunya." Nenek Poltak seolah membaca pikiran Poltak.

"Tamu, ompung?"

"Iya.  Tadi burung celepuk bunyi di pohon kemiri di kebun belakang."  Orang Batak, sekurangnya di Panatapan, percaya burung celepuk yang berbunyi siang hari di dekat rumah adalah pertanda akan ada tamu.

"Siapa, ompung.  Dari mana?"

"Mungkin ompungmu.  Dari Timur."  Nenek Poltak menduga.  Bukan.  Bukan menduga.  Itu suatu keyakinan, sebuah kepastian.   Suara alam tak pernah bohong. Karena itu seekor ayam harus menjadi gulai sedap.

Timur, pemendekan Sumatera Timur,  adalah sebutan orang Batak Toba untuk daerah Simalungun, Deliserdang dan Asahan.  Di daerah itu banyak bermukim migran asal Toba dan Samosir. Karena itu, lazim orang Batak di Toba dan Samosir memiliki sanak-saudara di sana.

Generasi pertama migran Batak Toba ke Sumatera Timur didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan 1910-an.  Waktu itu Perang Dunia I sedang berkecamuk.  Pelayaran terganggu.  Impor beras dari Indocina ke Sumatera Timur terkendala. Buruh perkebunan terancam krisis pangan.

Kelompok migran Batak Toba, ahli persawahan,   kemudian diminta membuka sawah baru di Sumatera Timur.  Dengan cara itu krisis pangan di daerah perkebunan dapat di atasi.

Poltak memegangi ayam dan neneknya, sambil komat-kamit mantra, menyayatkan mata belati di lehernya.  Teknik sayatnya tinggi, professional. Ayam tidak kesakitan dan tetap merasa dirinya masih  hidup kendati sudah putus nyawa.  

Bersamaan lepasnya nyawa ayam, terdengar bunyi kendaraan berhenti di mulut jalan kampung, di gigir jalan Lintas-Sumatera,  sebelah barat kampung.

"Itu pasti ompungmu.  Sudah tiba," kata nenek Poltak, sambil memasukkan jasad ayam ke dalam periuk berisi air mendidih.  Tidak lama.  Sebentar kemudian sudah dikeluarkan.  

"Ini, cabuti bulunya."  Nenek Poltak meletakkan jasad ayam itu di atas tampi beras yang dihampar terbalik.

"Horas!" Terdengar seruan seorang laki-laki di depan rumah.

"Bah!  Kalian rupanya.  Ei, ompung ni Poltak! Adik kita sudah datang dari Timur!" Kakek Poltak berteriak dari teras rumah.  Ditingkahi suara tawa dan percakapan basa-basi.

Nenek Poltak bergegas keluar ke teras rumah.  Tamu dari Timur itu ternyata adik iparnya, suami-isteri Ama Rotua dan Nai Rotua.  Ama Rotua adalah saudara kandung kakek Poltak, adik nomor empat. Karena itu dia terbilang kakek bagi Poltak.  

Ama Rotua dan isterinya  adalah generasi ke sekian migran Batak ke tanah Timur. Tepatnya ke Jau, Tanojawa di bagian timur Simalungun.  Dulu mereka pergi ke sana karena ada kesempatan membuka areal sawah baru.

"Ei, Poltak. Sudah besar rupanya kau.  Sudah sekolah?"  tanya Ama Rotua, kakeknya, setelah mereka duduk di dalam rumah.

"Belum. Tahun depanlah."  Kakek Poltak yang menyahut.  

Pembicaraan antara kakak-beradik berlangsung gayeng.  Poltak, status anak kecil,  lebih banyak berdiam diri.  Begitulah normanya.  

Diam itu bagus untuk Poltak.  Dia bisa  konsentrasi menikmati kue bolu, buah tangan istimewa dari Ama dan Nai Rotua, kakek-neneknya itu.  Itu sebuah kemewahan untuk anak Panatapan.  Belum tentu terjadi sekali dalam setahun.  

"Hasil panen kami jelek sekali,"  Ama Rotua membuka pembicaraan setelah kenyang makan bersama dengan lauk gulai ayam. Begitulah orang Batak.  Makan kenyang dulu, baru bicara.  Sebab hanya orang kenyang yang bisa berpikir dan berbicara jernih.  

"Kemarau panjang.  Sawah kami puso, Abang."   Diam sejenak.  "Karena itu kami datang ke sini. Mudah-mudahan ada gabah yang boleh kami bawa pulang untuk memberi makan anak-anak kita di rumah,"  lanjutnya.

"Bah, begitu, ya."  Kakek Poltak menghela nafas. "Tak banyak juga hasil panen kami di sini.  Tapi kita berbagi dari yang sedikit itulah.  Anak-anak harus makan. Harus tetap sehat semua."

"Terimakasih banyaklah, Abang.  Kami bisa bernafas lega lagi," balas Ama dan Nai Rotua bersamaan.  

Begitulah tolong-menolong tetap terbuhul antara orang Batak di Toba dan kerabatnya di Timur. Sifatnya timbal-balik.  Kali ini orang Timur minta tolong kepada kerabatnya di Toba.  Lain waktu, orang Toba yang minta tolong kepada kerabatnya di Timur.  Jarak geografis tak melunturkan ikatan kekerabatan orang Batak.

"Poltak, kelak kau jangan menjadi petanilah seperti kami kakekmu ini. Sengsaralah hidup petani itu." Ama Rotua menasihati Poltak, sambil menepuk-nepuk bahunya.

"Kalau sudah besar nanti, dia akan menjadi insiniur kebun," sambar Kakek Poltak.

"Bah.  Bagus kalilah itu.  Insiniur-insiniur kebun di perkebunan Sumatera Timur itu hidupnya enaklah. Banyak duitnya. Rumah bagus, istri cantik."  Ama Rotua menguatkan.

"Bah! Aneh pula bicaramu!  Maksudmu, aku ini jelek! Begitu, ya!"  Nai Rotua tiba-tiba menyentak suaminya.  Suasana seketika tegang.  Mendadak Poltak merasa dirinya seekor pelanduk di tengah empat ekor gajah. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun