Remnya adalah tongkat kayu. Tongkat itu harus ditancapkan ke tanah, di antara selangkangan, untuk menghentikan laju kereta luncur.
Begitulah, anak-anak Panatapan harus kreatif menciptakan mainan sendiri. Alam menyediakan apa saja yang mereka perlukan. Tuhan mengaruniai mereka akal budi untuk berkreasi. Â Orangtua memberikan waktu untuk bermain. Sempurna.
Tiba di puncak bukit Partalinsiran, tiga sekawan itu bergabung dengan anak-anak lain yang lebih tua tiga empat tahun. Â Mereka sudah bermain lebih dulu di situ.
Kemiringan lereng bukit Partalinsiran, yang dijadikan lintasan seluncuran, itu kurang lebih 45 derajat. Jarak lintasan dari puncak ke kaki bukit kurang lebih 75 meter. Lumayan menantang untuk anak kecil.
"Ayo, Poltak! Giliranmu!" Binsar dan Bistok, yang sudah meluncur duluan, Â menyemangati Poltak. Â
Poltak bersiap. Kereta luncur diposisikan tepat di bibir lereng. Poltak duduk tegak di atasnya. Tongkat kayu, rem, digenggam erat di tangan kanan. Konsentrasi.
"Satu, dua, tiga!" Tepat pada hitungan ketiga, Bistok mendorong kereta Poltak.
Wush. Poltak, di atas keretanya, Â meluncur deras ke bawah. Entah berapa kilometer per jam kecepatannya. Â
Poltak merasa keretanya meluncur terlalu cepat. Layaknya batu jatuh bebas ke jurang. Semakin lama semakin cepat. Diputuskannya untuk mengerem.
Krak! Derak keras kayu patah. Poltak terkesiap. Tongkat remnya patah. Cilaka!
Kereta ngepot tanpa kendali. Poltak terlempar. Jatuh berguling-guling ke kaki bukit. Dunia berpusing cepat di kepala Poltak. Â