"Poltak, kau sudah kasi makan itu babi kita?" Kalau neneknya bertanya begitu dan Poltak menjawab, "Belum, Ompung," maka selanjutnya adalah berondongan kecaman. Â
"Perutmu saja yang kau urus. Perut babi itu lebih penting. Â Kalau dijual, babi itu bisa menyekolahkanmu. Â Kau? Diobral juga taklaku!"
Sebegitu pentingnya arti ekonomi babi untuk keluarga Batak. Â Sehingga seorang anak atau cucu menjadi tak berharga bila lupa memberi makan babinya. Â Anak-anak Panatapan harus mencamkan itu.
Nenek Poltak memelihara dua ekor babi jantan: besar dan kecil.  Pagi hari  babi-babi itu  ditambatkan di lapangan rumput di depan rumah. Sore, sampai pagi lagi, dikandangkan. Â
Mereka diberi makan dua kali sehari. Pagi dan sore. Menunya rebusan cacahan singkong, daun ubijalar dan happa atau talas air. Diberi bumbu garam dan dedak untuk penyedap.
Di kampung Toruan, caranya beda pula. Di sana babi dilepas. Tapi diberi kalung palang sepanjang satu meter di lehernya. Â Agar terhalang saat berusaha menerobos pagar bambu untuk masuk ke kebun orang. Â
"Poltak! Sini! Bantu Ompung!" Â Nenek Poltak memanggil. Â
Tangan kanannya memegang sebilah belati tajam. Di tangan kirinya ada  baskom berisi singkong parut, bubuk belerang, minyak kelapa, minyak tanah, korekapi,  dan seberkas  mendong kering.
"Mau kebiri babi yang kecil, ya, Ompung?" tanya Poltak. Dia tahu, belati dan bahan-bahan dalam baskom itu khas perlengkapan kebiri babi. Â
Ya, kebiri, mencopot lepas dua biji kejantanan babi dari kantungnya. Â Begitulah nasib setiap babi jantan peliharaan di Panatapan. Dicabut pelirnya, kejantanannya.
Momen pengebirian babi adalah tontonan meriah berdarah untuk anak-anak Panatapan. Â Agak sadis, tapi itu proses ajar.