Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #008] Perjanjian Hariara Hapuloan

15 September 2020   15:11 Diperbarui: 15 September 2020   20:12 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: Felix Tani; Foto: Erabaru.com

Poltak dan Bistok saling berpandangan. Mencoba menafsir maksud Binsar. Perjanjian macam apa pula yang digagasnya?

"Perjanjian apa?  Perjanjian Baru?"  Poltak minta kejelasan, sambil bergurau sedikit.  Perjanjian Baru adalah nama lain untuk Injil.

"Bukan, Poltak!  Padan! Antara kita bertiga," Binsar menjelaskan.  Padan, adalah perjanjian atau ikrar antar individu dalam masyarakat Batak.  Tanpa saksi mata, kecuali matahari di siang hari atau bulan di malam hari.

Poltak menoleh ke arah Bistok.  Berharap satu ide darinya. Tapi Bistok pura-pura acuh.  Sibuk memijat-mijat telapak kaki tampahnya.

Poltak mendongak, menatap ke pucuk hariara hapuloan.  "Ini hariara keramat," dia membathin.

Hariara hapuloan, sepi sendiri, itu sebenarnya adalah pohon tetenger sebuah parhutaan, perkampungan, tua yang sudah ditinggalkan.  

Orang Batak tempo dulu, jika membangun sebuah kampung, maka di sisi gerbang masuk akan ditanam sebatang anakan hariara. Jika dalam tempo tujuh hari anakan hariara itu tumbuh segar, maka itu pertanda boleh membuka kampung baru di situ.  Jika mati, maka harus mencari lokasi lain.

Hariara di mulut kampung itu dikeramatkan.  Pohon itu menjadi saluran komunikasi antara warga kampung dengan Mulajadi Na Bolon.  

Jika warga kampung  mengharapkan suatu berkah, misalnya hujan, maka di bawah hariara itu akan diletakkan sesajen.  Lalu tetua kampung akan memanjatkan doa permohonan kepada Mulajadi Na Bolon.  

"Perjanjian apa, Binsar.  Serius kau.  Tak boleh main-main di sini.  Ini hariara keramat."  Poltak mencecar Binsar.

"Begini.  Kita bertiga sahabat karib, kan?" Binsar mulai menjelaskan maksudnya.  Poltak dan Bistok mengangguk-angguk.

"Kalian mau persahabatan kita putus?"

"Tidaklah!"  Poltak dan Binsar menjawab bersamaan.

"Nah, bagus.  Agar persahabatan kita abadi, kita harus bikin perjanjian."

"Perjanjian apa?"  Poltak menyela.

"Ya, perjanjian setia kawan, bodoh!"  sentak Binsar. 

Walau sepantaran, Poltak itu terbilang keponakan untuk Binsar.  Ayah Binsar, Ama Tiurlan, adalah adik kandung kakek Poltak, Ompu Poltak.  Karena itu, Binsar terbilang amang uda, bapak muda, bagi Poltak.  aitu dadatnya Binsar boleh bicara sedikit sembarangan kepada Poltak.

"Aku setujulah," Bistok mendukung ide Binsar.

"Baiklah kalau begitu.  Bikinlah perjanjiannya, Binsar."  Poltak akhirnya setuju juga.

Walau ada sedikit yang mengganjal di hati Poltak. "Bagaimana bisa setia kawan," pikirnya, "mereka berdua sudah sekolah, aku belum.  Setia kawan macam apa itu?"

"Bukan aku! Kaulah yang bikin, Poltak!  Kakekmu kan tetua kampung.  Pintar bicara adat." Binsar melempar tanggungjawab.  Khas Si Pemalas Mikir.  

Memang benar kakek Poltak, Ompu Poltak itu tetua kampung Panatapan.   Karena itu dalam acara-acara adat di kampungnya atau kampung tetangga, dia kerap tampil sebagai juru bicara.

Poltak kerap diajak kakeknya ke acara-acara adat. Di situ dia sering mendengar kakeknya dan tokoh-tokoh adat lain bicara adat.  Hasilnya, lama-lama dia mulai hafal  bahasa adat dan sejumlah umpama, syair petitih Batak.

"Baiklah," kata Poltak. "Ayo, tumpang-tindihkan telapak tangan kanan di pohon hariara."  

Binsar menumpangkan telapak tangan kanannya. Selanjutnya Bistok.  Terakhir Poltak.

"Saya akan ucapkan janji.  Ini kita sebut perjanjian hariara hapuloan. Ikuti dalam hati," Poltak menegaskan.  

Lalu dia mengujarkan rangkaian kalimat perjanjian persahabatan abadi antara mereka bertiga.

"Ale, Ompung Mulajadi Na Bolon. Ho Mulani nasa na adong, Na Manjadihon langit dohot aek dohot tano dohot sude nasa isina. Ho Na So Marmula, Na So Marbona jala Na So Marujung.

Sai martinangi ma Ho ale Ompung i hatani padan nami on.  On ma padan maruari, na pinudun nami di bonani hariara hapuloan na marsanti on.  

Rasi rasa sadari on sahat hu ari nanaeng ro, na so tupa sirang parale-alean nami na tolu.  Na tolu gabe sada ma hami, na sada parrohaon, na sada parsorion jala sada parulian.  

Togu urat ni bulu toguan urat ni padang, togu ni dok ni uhum toguan ni dokni padan"

["O, Dewata Awal Maha Agung. Engkau Awal segala yang ada, Yang Menciptakan langit, air, tanah dan segala isinya.  Engkau Yang Tidak Berawal, Tidak Berpokok,  dan Tidak Berakhir.  

Semoga Engkau mendengar perjanjian kami, o, Dewata.  Inilah perjanjian disaksikan matahari, yang kami ikat di pohon hariara hapuloan yang keramat ini.

Mulai pada hari ini sampai hari yang akan datang, tali persahabatan kami bertiga tidak akan pernah putus. Bertiga kami menjadi satu, satu hati, satu derita, satu rejeki.

Kuat akar bambu lebih kuat akar padang, kuat kata-kata hukum lebih kuat kata-kata perjanjian"]

"Ima tutu!" Binsar, Bistok dan Poltak menyerukan kesepakatan.  Ima tutu, sepakat seperti itu.  

"Horas! Horas! Horas!"   Bertiga, mereka berseru tiga kali.

"Horas, Ompum ma!"  Tiba-tiba sebuah bentakan keras menggelegar dari punggung bukit Pardolok.

Poltak, Binsar, Bistok tersentak kaget.  Tiga jantung kecil nyaris copot dari tampuknya.  

Serentak mereka bertiga menoleh ke arah punggung bukit.  

Di atas sana, Ama Ringkot berdiri berkacak pinggang.  Rona wajahnya mengeras. Tegang. Marah. (Bersambung)
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun