***
Tanpa teror kritik dari Daeng Khrisna, paragraf pembuka itu sendiri sejatinya sudah menjadi teror bagi penulis. Â Hal itu berpangkal pada sifat kritikal yang mekekat padanya.
Paragraf pembuka bersifat kritikal karena dua alasan. Pertama, dia harus mampu mengabstraksi atau menggambarkan keseluruhan usi tulisan dalam kalimat yang tedas dan memikat. Sebab kalau tidak, pembaca tidak akan terpikat, lalu abai pada tulisan itu.Â
Kedua, karena alasan pertama itu, dia cenderung menjadi bottleneck dalam proses penulisan. Bahkan sering menjadi penyebab suatu tulisan tak pernah jadi. Banyak orang yang harus menghabiskan waktu dan energi untuk bisa menaja satu paragraf yang memadai. Atau bahkan untuk menata satu kalimat pembuka pada paragraf pembuka itu.Â
Jadi, wajar kiranya apabila banyak penulis yang merasa terteror oleh satu paragraf kunci bernama pembuka itu. Tidak hanya penulis amatir tetapi juga profesional. Juga tak hanya penulis pemula tetapi juga penulis berpengalaman. Â
Semua sadar, jika berhasil menuliskan paragraf pembuka yang fokus, runut, tedas dan runtun maka limapuluh persen tulisan telah selesai.
Begitulah, kendati tak spesifik ditujukan kepadaku, teror kritik Daeng Khrisna  telah memperparah rasa ngeriku pada paragraf pembuka. Karena itu, sambil gemetar ketakutan, saya pun berusaha menaja satu paragraf pembuka yang, demi segala "nabi munsyi", semoga sudah fokus, runut, tedas dan runtun.
Perlu diumumkan di sini, hanya Daeng Khrisna yang boleh membuka artikelnya dengan sebuah paragraf amburadul. Hal itu terjadi karena dia boleh meletakkan contoh paragraf yang kacau untuk membuka artikelnya.(*)