***
Teror dalam wujud kritik yang mencerdaskan belakangan hari ini  meraja-lela di Kompasiana. Pelakunya adalah seorang "nabi munsyi", Kompasianer Khrisna Pabichara. Korbannya adalah para Kompasianer yang bertindak sembarangan dalam menaja paragraf pembuka artikel.
Boleh dikatakan, teror yang ditebar Daeng Khrisna, begitu saya menyapanya, adalah "kritik paragraf pembuka". Jelasnya, Daeng Khrisna mengulik habis paragraf-paragraf pembuka pada sejumlah artikel yang ditulis Kompasianer.Â
Tanpa tedeng aling-aling, dia menunjukkan kesalahan-kesalahan fatal tata-bahasa Indonesia pada paragraf-paragraf itu. Baik itu terkait pilihan kata dan struktur kalimat, maupun terkait struktur paragraf dan kohesi gramatikal. Juga terkait dengan penggunaan konjungsi dan pemarkah.
Teror "kritik paragraf pembuka" yang dilancarkan Daeng Khrisna sejauh ini sudah memakan empat orang "korban". Mereka adalah Fery W, Siti Nazarotin, Sigit Eka Pribadi, dan Ozy Alandika. (Baca: "Kompasianer dan Paragraf Pembuka", K.7/9/20; "Kompasianer dan Keunikan Paragraf Pembuka", K.8/9/20; "Pisang Ozy, Kompasianer dan Paragraf Berisi", K.12/9/20).
Bohonglah apabila dalam hati Fery, Nazar, Sigit, dan Ozy tak terbersit sedikit pun rasa takut. Atau setidaknya rasa cemas, Â saat mengetahui artikelnya, walau hanya alinea pembuka, dikritik tuntas oleh Daeng Khrisna.Â
Tapi rasa takut, atau khawatir, itu segera berubah jadi lega. Karena Daeng Khrisna konsekuen memberikan solusi perbaikan. Ha itu dilakukannya seusai membabar kekacauan paragraf.Â
Bohong juga kalau para korban itu mengaku tidak bertambah cerdas setelahnya. Â Paling tidak, mereka menjadi tahu kesalahannya dan tahu cara memperbaikinya.
Saya menduga banyak Kompasianer yang iri kepada keempat korban teror tersebut. Iri karena rejeki pembelajaran dan pencerdasan yang mereka dapatkan. Diam-diam dalam hati, para Kompasianer yang iri itu berharap juga suatu saat dipetik Daeng Khrisna untuk dikritik habis.
Pembelajaran dari teror "kritik paragraf pembuka" yang ditebarkan Daeng Khrisna sederhana saja. Tulislah sebuah paragraf pembuka yang efektif yaitu yang fokus (satu gagasan utama), runut (disokong gagasan penjelas), tedas (kalimat ringkas dan lugas) dan runtun (keserasian kohesif antar kalimat).
Formula  paragraf efektif yang disarankan Daeng Khrisna itu terkesan bersahaja tapi, sejujurnya, tidak mudah dipraktekkan.  Bukan karena kita tidak paham, tapi terutama karena sikap hirau kita pada tata-bahasa Indonesia.Â
Agaknya tidak pernah disadari bahwa sikap semacam itu akan menjauhkan kita dari kemampuan berbahasa Indonesia yang sejati. Â Bahkan, lebih parah lagi, bisa merusak dan memusnahkan Bahasa Indonesia itu sendiri.