Adatnya memang begitu. Bagi cucu yang ditugasi menggembalakan kerbau betina, kakeknya akan menghadiahkan sahae, sepaha atau seperempat bagian dari anak yang dilahirkan. Â
Lazimnya sambola hae, setengah paha, atau seperdelapan bagian. Tapi Poltak itu cucu hasian, kesayangan kakek dan neneknya. Cucu pertama, laki-laki, dari anak laki pertama. Karena itu kakeknya memberi lebih.
"Bah, Poltak. Oi, sudah datang jagoan kita," sambut Ama Lamhot begitu Poltak bersama kakek dan neneknya menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah.
Para paranggap, dewasa dan anak-anak, sudah ramai di dalam rumah. Semua mata tertuju kepada Poltak.
Begitulah. Kabar sedemikian cepatnya beredar di Panatapan. Bahkan sampai pula ke kampung tetangga. Komplit dengan segala distorsinya.
"Hebat kalilah Si Poltak ini. Â Kudengar anak kerbaunya sungsang, ya," Ama Ringkot angkat bicara.
"Bah, payah itu," sambar Nai Lumongga.
"Iya. Itulah. Si Poltak ini bisa mengurut perut kerbaunya. Posisi janin bisa diputarnya. Maka anak kerbaunya lahir normal," lanjut Ama Ringkot.
"Bah! Hebat sekali. Pasti Si Poltak itu mewarisi keahlian neneknya menjadi dukun beranak," sela Nai Basaria yakin seratus persen.
Nenek Poltak, dari pihak ibu, memang terkenal sebagai dukun urut sekaligus dukun beranak. Konon keahliannya itu didapatkan lewat jalur mimpi. Suatu malam dia tidur, lalu mimpi diberi ilmu oleh seorang nenek tak dikenal. Besok paginya, begitu bangun, sudah jadi dukun urut. Â
Poltak diam saja mendengar semua ocehan omong kosong itu. Sambil cuping hidungnya merah mekar, tanda senang dan bangga menjadi subyek gosip. Â