Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Cinta Mati Poltak kepada Gula Aren

2 September 2020   15:58 Diperbarui: 2 September 2020   18:30 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potongan gula aren untuk pemanis kopi atau teh (Dokumen Poltak)

[01]

Tirai layar perlahan menguak terbuka.  Terdengar nyanyian mengalun merdu.

"Berdiri sejenak, di depan cermin, lihat wajah kita. Tanya diri, kita ini siapa, Putra Indonesia.  
Cintailah Tanah Air kita, Bangsa dan Bahasa kita.  Apa yang bisa kita banggakan, Buatan Indonesia
Aku cinta, Anda cinta, semua cinta Buatan Indonesia, oh.
Pilihanku, hanya satu, Buatan Indonesia."
 

Lagu "Aku Cinta Buatan Indonesia", gubahan Sam Bimbo, yang dilantunkan oleh grup musik Priangan, Bimbo, itu tak pernah lekang dari hati dan pikiran Poltak.  

Tahun 1980-an, lagu itu hadir setiap minggu di TVRI, sebagai lagu pembuka (layar) dan penutup (layar) acara "Apresiasi Film Indonesia" yang dipandu Sandy Tyas.  Dilantunkan dengan suara lembut dan merdu dalam , lagu itu "Indonesia banget!"  

Pendek kata, lagu itu sungguh pas di hati.  Nada persuasinya sungguh lembut mengajak anak-anak bangsa mencintai produk-produk dalam negeri.  

"Aku cinta, Anda cinta, semua cinta buatan Indonesia, oh. Pilihanku, hanya satu, Buatan Indonesia."

Ya, Poltak telah memilih. Satu. Gula aren, aseli Buatan Indonesia. Begini kisahnya.

[02]

Paruh kedua tahun 1960-an, Desa Panatapan, Tanah Batak.  Tahun-tahun berseminya cinta Poltak kepada gula aren, pemanis asli Buatan Indonesia, Waktu itu Poltak masih murid Sekolah Dasar di desanya.

Kakek buyut Poltak, tinggal di bukit Panatapan, adalah perajin gula aren. Rumahnya, yang berarsitektur rumah adat Batak, dikelilingi oleh hutan aren.  

Menyadap nira aren adalah keseharian kakek buyut Poltak. Setiap pagi dan sore dia akan memanen air nira yang ditampung dalam bumbung bambu.

Sebagian besar air nira itu diolah nenek buyut Poltak menjadi gula aren. Sebagian lagi diambil oleh pemilik kedai tuak, pelanggan setia, untuk bikin mabuk para lelaki Batak di sore hari.

Nenek buyut Poltak menjual gula aren itu ke pasar setiap hari Sabtu, hari pasaran di Tigaraja-Parapat, pasar mingguan terdekat. Hasil penjualan dibelanjakan untuk keperluan sembako selama seminggu ke depan.

Poltak, dalam dua atau tiga hari sekali, terbiasa mampir ke rumah kakek buyutnya itu selepas sekolah. Hal yang paling dicarinya di situ adalah "tahi gula", remah-remah gula. Tapi terutama "gula tarik", gula gagal berupa karamel gulali yang sangat alot, bisa ditarik-ulur atau ditekuk-tekuk.  

"Gula tarik" itu kesukaan Poltak.  Sekepal "gula tarik" baginya cukup untuk menyelesaikan perjalanan pulang dari sekolah ke rumah. Kira-kira 45-60 menit jalan kaki.

Menikmati "gula tarik" punya kiat tersendiri.  Tidak boleh sembarang gigit.  Bisa-bisa gigi atas dan bawah rekat oleh karamel kampung itu, sehingga mulut tidak bisa dibuka.

Caranya begini.  Basahi dulu  ujung jemari dengan ludah.  Cubit dan tarik secuil "gula tarik", lalu dipulung dengan ujung jari membentuk bulatan sebesar kelereng.  Setelah itu masukkan ke dalam mulut. Lalu isep-isep layaknya ngisep permen. Bagian ini yang bikin nagih.

Makan "gula tarik" bagi Poltak adalah ritual dua atau tiga harian selama enam tahun bersekolah di Sekolah Dasar.  Terasa ada yang hilang dari hidupnya jika dalam seminggu dia tidak mencecap "gula tarik" atau pun "tahi gula aren".

Tanpa disadari, kecintaan Poltak kepada gula aren telah mendarah-daging, berkat pergaulannya dengan "gula tarik" dan "tahi gua" selama enam tahun. Bagi Poltak, tidak ada gula kecuali gula aren. Lain dari itu, berarti pemanis biasa.

[3]

Kisah cinta Poltak dengan gula aren adalah kisah putus-sambung.  Putus cinta yang paling parah terhadi saat Poltak merantau ke Jawa awal 1980-an.   Di Jawa, Poltak mengalami kesulitan menemukan gula aren.

Di rantau Jawa itu masuklah pihak ketiga.  Namanya gula kelapa, atau gula Jawa.  Rasa, aroma, tekstur dan warnanya mirip, tapi dia adalah gula kelapa. Bukan gula nira yang rasa, aroma, tekstur dan warnanya sudah lekat pada pancaindera Poltak.

Tak ada rotan akar pun jadilah. Kira-kira begitu prinsip Poltak.  Tak ada gula (nira) Batak, gula (kelapa) Jawa pun jadilah.  

"Tresno jalaran soko kulino. Kebacut aku wis raiso lungo. Sansoyo nambah cinta sing tak roso. Ra pengen pedot sampek tuo." Kira-kira begitulah kalau memperturutkan sebait tembang "Ojo Nesu-Nesu"-nya Dory Harsa di zaman saiki.  

Ompumma (Mbahmulah), Poltak!  Kalau jodoh tak lari ke mana.  Poltak justru menemukan kembali cinta lamanya di Pasar PSPT Tebet, Jakarta Selatan.  

Gula aren asli dari Cianjur (Dokumen Poltak)
Gula aren asli dari Cianjur (Dokumen Poltak)
Di sanalah Poltak suatu hari menemukan "gula aren asli dari kampung Cianjur."  Betul-betul asli gula aren.  Dikemas menggunakan daun aren asli, dengan ikatan rautan tipis batang bambu.  Lengkap dengan etiket tulis tangan: "GULA AREN ASLI KAMPUNG CIANJUR."

Rasa, aroma, tekstur dan warna gula aren Cianjur itu klop plok dengan memori pancaindera Poltak. Sejak itu, tanpa kata-kata perpisahan, cinta Poltak langsung kembali ke gula aren.  Gula kelapa ditinggal untuk menjadi bumbu dapur.

Kini, setiap pagi Poltak minum teh dengan pemanis gula aren buatan kampung Cianjur.  Sore minum kopi dengan pemanis gula aren kesayangan itu juga. Pokoknya, tiada teh pagi dan kopi sore tanpa gula aren.  Cinta lama bersemi kembali untuk abadi.

[4]

Cinta Poltak kepada gula aren sejatinya bukanlah cinta buta.  Ada dua hal yang membuatnya semakin cinta pada gula aren.

Pertama, manfaat hebat gula aren. Kandungan nutrisi dan mineral dalam gula aren itu luar biasa. Karbohidrat, protein, lemak, dan serat ada di situ. Dia juga kaya vitamin C, vitamin B3 (niasin) serta mineral kalsium, forfor, dan zat besi. Kandungan anti-oksidannya juga tinggi.

Dengan semua kandungan nutrisi dan mineral itu, gula aren sangat bermanfaan untuk meningkatkan imunitas tubuh, menangkal kanker, menguatkan jantung, menyehatkan kulit (mengatasi penuaan dini), menurunkan berat badan (gula diet), menyembuhkan sariawan, mengatasi anemia, meredakan flu/demam. dan melancarkan pencernaan.

Gula aren itu sumber energi yang bisa diandalkan.   Jika melakukan perjalanan ke hutan atau ke gunung, maka bawalah gula aren sebagai bekal.

Kedua, produk asli lokal.  Gula aren di Indonesia adalah produk lokal.   Ini adalah Buatan Indonesia asli.   Ini sesuai dengan niat Poltak untuk mencintai produk dalam negeri sendiri.  Terlebih produk yang dihasilkan para petani yang tinggal di lereng-lereng gunung di pelosok negeri ini.

Apalagi di masa sekarang, masa pandemi. Semangat untuk mencintai produk dalam negeri, Buatan Indonesia, sungguh mendapatkan momentumnya.   Bukan karena kesulitan impor, tetapi terutama karena di masa pandemi, setiap warga negara dipanggil untuk menyelamatkan ekonomi anak bangsa.

Kecintaan Poltak pada gula aren memang tampak sebagai hal remeh.  Tapi kesetiaan dalam perkara kecil akan menghasilkan kesetiaan dalam perkara besar.  Jika ada sepuluh juta saja warga Indonesia yang cinta mati pada gula aren, maka itu sudah cukup untuk menggerakkan dan menumbuhkan industri gula aren rakyat di pedesaan kita.  

Hal serupa berlaku juga untuk produk-produk asli bikinan atau hasil kerja anak negeri lainnya.  Seperti kopi, tape, tapioka, keripik pisang, jalangkote, semar mendem, dan lain sebagainya.  

Kecintaan pada produk-produk ekonomi kerakyatan itu niscaya akan membantu kebangkitan ekonomi negeri ini di bawah deraan pandemi.

Poltak percaya pada kecintaan yang tampak remeh seperti itu.  Baginya, adalah lebih bermakna bagi negeri ini minum secangkir kopi dengan pemanis gula aren bikinan perajin kecil Cianjur, ketimbang membentuk KAMI yang entah untuk menyelamatkan Indonesia yang mana.

Layar perlahan bergerak menutup kembali. Nyanyian merdu itu kumandang lagi.

"Berdiri sejenak, di depan cermin, lihat wajah kita. Tanya diri, kita ini siapa, Putra Indonesia.  
Cintailah Tanah Air kita, Bangsa dan Bahasa kita.  Apa yang bisa kita banggakan, Buatan Indonesia
Aku cinta, Anda cinta, semua cinta Buatan Indonesia, oh.
Pilihanku, hanya satu, Buatan Indonesia."
(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun