Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Cinta Mati Poltak kepada Gula Aren

2 September 2020   15:58 Diperbarui: 2 September 2020   18:30 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar air nira itu diolah nenek buyut Poltak menjadi gula aren. Sebagian lagi diambil oleh pemilik kedai tuak, pelanggan setia, untuk bikin mabuk para lelaki Batak di sore hari.

Nenek buyut Poltak menjual gula aren itu ke pasar setiap hari Sabtu, hari pasaran di Tigaraja-Parapat, pasar mingguan terdekat. Hasil penjualan dibelanjakan untuk keperluan sembako selama seminggu ke depan.

Poltak, dalam dua atau tiga hari sekali, terbiasa mampir ke rumah kakek buyutnya itu selepas sekolah. Hal yang paling dicarinya di situ adalah "tahi gula", remah-remah gula. Tapi terutama "gula tarik", gula gagal berupa karamel gulali yang sangat alot, bisa ditarik-ulur atau ditekuk-tekuk.  

"Gula tarik" itu kesukaan Poltak.  Sekepal "gula tarik" baginya cukup untuk menyelesaikan perjalanan pulang dari sekolah ke rumah. Kira-kira 45-60 menit jalan kaki.

Menikmati "gula tarik" punya kiat tersendiri.  Tidak boleh sembarang gigit.  Bisa-bisa gigi atas dan bawah rekat oleh karamel kampung itu, sehingga mulut tidak bisa dibuka.

Caranya begini.  Basahi dulu  ujung jemari dengan ludah.  Cubit dan tarik secuil "gula tarik", lalu dipulung dengan ujung jari membentuk bulatan sebesar kelereng.  Setelah itu masukkan ke dalam mulut. Lalu isep-isep layaknya ngisep permen. Bagian ini yang bikin nagih.

Makan "gula tarik" bagi Poltak adalah ritual dua atau tiga harian selama enam tahun bersekolah di Sekolah Dasar.  Terasa ada yang hilang dari hidupnya jika dalam seminggu dia tidak mencecap "gula tarik" atau pun "tahi gula aren".

Tanpa disadari, kecintaan Poltak kepada gula aren telah mendarah-daging, berkat pergaulannya dengan "gula tarik" dan "tahi gua" selama enam tahun. Bagi Poltak, tidak ada gula kecuali gula aren. Lain dari itu, berarti pemanis biasa.

[3]

Kisah cinta Poltak dengan gula aren adalah kisah putus-sambung.  Putus cinta yang paling parah terhadi saat Poltak merantau ke Jawa awal 1980-an.   Di Jawa, Poltak mengalami kesulitan menemukan gula aren.

Di rantau Jawa itu masuklah pihak ketiga.  Namanya gula kelapa, atau gula Jawa.  Rasa, aroma, tekstur dan warnanya mirip, tapi dia adalah gula kelapa. Bukan gula nira yang rasa, aroma, tekstur dan warnanya sudah lekat pada pancaindera Poltak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun