[3]
Kembali ke fakta. Komentar saya pada artikel nganu dari Pebrianov, "Menulis, Bercanda yang Serius" (K.26/8/2020). Â
Begini: "Anu ini menganukan anuku sampai nganu-anu. Kalau Prov Pebrianov sudah menganukan anunya, anuku jadi nganu gitu, lho. Jadi mari kita anukan anu kita biar anu tetap nganu. Nganu lho. Salam nganu."
Bli Ketut Suweca, dalam artikelnya "Masih Belum Blogwalking? Inilah Alasan Mengapa Hal Itu Penting" (K.26/8/2020), mengaku bingung mengartikan "bahasa anu" itu.
Tentu saja Bli Ketut bingung, demikian juga kebanyakan pembaca lain. Karena relasi sosial saya dengan Bli Ketut belum tiba pada tingkat keintiman yang memadai untuk masuk ke dalam konteks "komunikasi yang intim". Â
Lain halnya dengan relasi sosial saya dan Prov Pebrianov. Â Kami sudah berintaraksi, saling-ledek dan saling-risak, sering dengan kosakata "vulgar", dalam waktu lama di Kompasiana. Â
Karena itu, antara kami berdua sudah terbangun suatu "anu", komunikasi yang relatif intim, yang tak memerlukan kosakata baku selazimnya perbincangan normal.Â
Kami cukup menggunakan kosakata "anu" dengan beragam artinya itu. Â Relasi intim membuat kami dengan mudah bisa paham arti "anu" atau "nganu" dalam kalimat tertentu.
Mungkin ada yang bertanya, "Apakah Pebrianov sungguh mengerti komentarku di atas?"Â
Lihat saja faktanya. Dia memberi tanggapan tanpa bertanya. Kesimpulannya: Pebrianov paham banget. Kalau dia tidak paham, berarti dia sedang nganu demi anu.
[4]
Kembali ke judul, "Anu itu Anu yang Anu." Sudah paham artinya, bukan? Di atas sudah ada clue: "komunikasi yang intim". Â
Bahasa "Anu" itu lebih tinggi derajatnya dibanding Bahasa Prokem remaja 1980-an. Untuk bisa berbahasa prokem, Â cukup menghafal kosakatanya. Bokap (bapak), nyokap (ibu), bokin (bini, pacar), kokay (kaya), doku (duit) dan lain-lain. Setelah hafal, langsung praktek.