Ingat sosok The Six Million Dollar Man? Warga pramillenial mestinya tahu, kecuali tidak pernah nonton TVRI pada awal 1980-an. Warga millenial, kalau  tidak tahu, silakan tanyakan pada bapakmu atau Mbah Google.
The Six Milion Dollar Man itu adalah julukan untuk tokoh fiksi saintifik Amerika bernama Steve Austin. Dia, Â mantan astronot, memiliki implan bionik dalam tubuhnya. Implan itu ditanam dalam tubuhnya saat menjalani operasi penyelamatan nyawanya, menyusul sebuah kecelakaan fatal.
Setelah operasi itu, Austin menjadi manusia super dengan kekuatan bionik. Mampu menggulingkan truk trailer, melompati rumah, mengejar mobil sport, melihat semut di seberang danau dan mendengar gosipan ibu-ibu "Tilik" di atas truk. Pokoknya, superlah!
Bekerja sebagai agen rahasia, yang selalu siap mengatasi segala masalah, Â kemampuan bionik itu membuat Austin selalu sukses menjalankan misi. Baginya, semua rintangan dan musuh tidak ada satu pun yang lebih keras dari kerupuk aci. Â
Julukan The Six Million Dollar Man itu merujuk pada total biaya operasi (USD 6 juta) untuk mengubahnya menjadi manusia bionik. Sekaligus julukan itu menjadi judul serial filmnya yang tayang di televisi Amerika tahun 1973-1978.Â
Di Indonesia, film seri itu ditayangkan stasiun TVRI pada awal 1980-an. Dibintangi aktor ganteng Lee Major, pemeran Austin, film itu menjadi favorit bagi pemirsa TVRI di masanya.
Poltak termasuk salah seorang pemirsa fanatik. Karena tak punya televisi, dia selalu numpang nonton di rumah tetangganya. Setiap kali pulang nonton, dia selalu melompati pagar bambu rumah tetangganya, meniru aksi The Six Million Dollar Man. Â
Hebatnya, Poltak selalu sukses, tak pernah nyangsang di pagar seperti Pak Tjiptadinata. Soalnya pagar rumah tetangganya cuma sekitar 0.6 meter. Apa hebatnya, ya?
***
Kalau dipikir-pikir, apacpula hebatnya Austin The Six Million Dollar Man. Dia kan cuma tokoh fiktif. Â Tokoh fiktif, mau dibikin mampu memadamkan matahari juga bisa, kale.Â
Zaman dulu orang Yunani Kuno sudah bisa "menciptakan" Ikarus yang terbang ke matahari untuk memetiknya. Sayangnya, Ikarus  lupa rakitan sayapnya dirakit menggunakan lilin sebagai perekat.  Akhir ceritanya, tahu sendirilah, sesuai dengan hukum titik leleh dan gravitasi.
"Kita punya tokoh nyata yang lebih hebat dari The Six Million Dollar Man, kata Poltak memberitahu saya lewat WA. "Julukannya The One Million Rupiah Man dari Bali," lanjutnya.Â
Lalu Poltak membagikan tautan ke sebuah video YouTube yang katanya sedang viral.
Ternyata video itu rekaman peristiwa dua orang polisi di Jembrana, Bali meminta uang jasa "I will help you" kepada turis Jepang. Turis itu melanggar aturan lalu lintas karena lampu motornya padam di siang bolong.
SIM oke, STNK oke, no problem. Tapi harus ada problem, sebab turis bermotor sudah diberhentikan. Gotcha! Lampu motor tidak dinyalakan sesuai aturan. Â
"Because is dead, you get penalty. I will help you. For simple process, just here you pay one million. Maximal one million." Begitu kira-kira ujaran salah seorang polisi melancarkan jurus damai. Â
Saya pikir, turis itu memang dalam masalah besar.  Dia dituduh  membunuh lampu.  Kata Pak Polisi, "...is dead," bukan "(The light) went out", atau "...light off", atau "...gone off." Dead, mati, saudara-saudara.
Karuan Si Turis Jepang panik dituduh membunuh lampu. Untunglah Pak Polisi tadi bijak bestari memainkan diskresi. Â
"I will help you," katanya bersimpati. "For simple process, just here you pay one million." Maksudnya, dengan membayar Rp 1 juta, maka kasus pembunuhan lampu dianggap tidak pernah ada. Â Cocoklah dengan Bu Tejo, Â "Dadi wong ki mbok yo sing solutip."
"Maximal one million," tuntut Pak Polisi ketika turis menyodorkan Rp 100,000. Akhirnya Si Turis menyerahkan uang Rp 900,000. Pak Polisi langsung menghitungnya dengan teknik hitung tukang kredit panci asal Tasikmalaya.Â
Untung dia gak pakai improvisasi colek ludah di lidah sebagai pengkesat lembaran duit. Pak Polisi gigih taat protokol Covid-19 rupanya. Salut!
Tapi rasa-rasanya ada yang dungu di sini. Apa atau siapa, ya. Pak Polisi kan bilang, "Maximal one million".  Lha, benar dong turis kalau bayar Rp 100.000.  Kalau maksimal Rp 1 juta, berarti boleh dong di bawah Rp 1 juta. Buktinya, Rp 900,000 diembat juga. Â
Anehnya, turis Jepang mau pula bayar Rp 900.000. Nyaris maksimal. Iki logikane riye, jal?
***
Sebagai orang Indonesia, apakah saya malu pada orang Jepang atau dunia gara-gara The One Million Rupiah Man itu? Â
Tidak, sama sekali.  Mestinya turis Jepang itulah yang malu. Memviralkan kedunguannya sendiri. Lha, wong disuruh bayar maksimal Rp 1 juta, kok ya mau-maunya bayar Rp 900.000. Â
Menurut UU Nomor 22/2009 denda untuk kelalaian tidak menyalakan lampu sepeda motor itu maksimal Rp 100,000, lho. Bukan maksimal Rp 1 juta.Â
Jadi turis tuh ngerti UU Lalu Lintas dikit, nape Jangan langsung main geber sepeda motor di jalanan.
Si Turis mempertontonkan pula moral bobroknya dengan menyogok polisi Rp 900,000. Penyogok dan penerima sogok, kan, sama bobroknya.
Lagi pula, turis Jepang itu kok ya percaya saja The One Million Rupiah Man itu benar seorang polisi. Â Bisa saja dia polisi gadungan bukan?Â
Untunglah Kepolisian Jembrana jujur mengakui oknum itu memang  polisi sungguhan. Padahal ada peluang berkelit. Bravo polisi Jembrana.
Walaupun kasus ini viral, santuy sajalah. Biasanya, sebentar lagi juga dilupakan. Perilaku medsos, ya, Â macam itulah.
Dulu, misalnya, pernah viral jidat seorang ketua partai yang benjol segede bakpao gara-gara mobilnya menabrak tiang listrik. Lalu hilang begitu saja. Kasihan tiang listriknya. Sudah sempat ngetop, eh, tiba-tiba dilupakan jasanya.
Begitulah. Â Manusia itu rupanya lahir untuk menjadi pemberita yang pelupa. Â Hari ini heboh, besok sepi. Lalu, nanti, hal serupa terulang lagi.
Percayalah, waktu tidak bergerak dalam garis lurus, melainkan dalam garis lingkaran.
Tapi tak urung kasus The One Million Rupiah Man ini bikin saya kecewa juga. Dengan uang jasa Rp 1 juta, saya pikir Pak Polisi akan membangkitkan lampu motor dari kematian. Nyatanya nggak tuh.
"Oh, itu mungkin karena sajennya gak maksimal Rp 1 juta," kata Poltak. "Ompum ma!"Â (Mbahmu lah!) semburku dalam hati.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H