"Ke mana gerangan perginya Khrisna Pabichara saat dirinya diperlukan?" Poltak bertanya-tanya dalam hati.
Tidakkah dia tahu ada sekelompok juru kritik politik telah melanggar kaidah Bahasa Indonesia? Atau mungkin dia khawatir dibantah menggunakan dalih licentia politica?
Pelanggaran yang saya maksud adalah akronim KAMI yang dideklarasikan tanggal 28 Agustus 2020 lalu oleh para juru kritik tadi. Â
Tadinya, Poltak menyangka KAMI itu abreviasi dari Kelompok Aktivis Malam ILC. Soalnya, ada beberapa orang aktivis ILC yang suka beraksi sampai larut malam tergabung ke dalamnya.
Tapi kepanjangannya ternyata adalah Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Ini terdengar hebat. Sayangnya, menurut Poltak, ada kesalahan berbahasa di dalamnya.
Di KBBI, kata Poltak, kosakata koalisi secara spesifik diartikan kerjasama antara dua atau lebih partai politik. Intinya, koalisi terjadi antara dua atau lebih organisasi atau institusi. Bukan antara dua atau lebih tindakan.
Jadi frasa "koalisi aksi (menyelamatkan)" itu melanggar kaidah bahasa. Karena kosa kata "aksi" tidak menunjuk pada organisasi atau institusi melainkan gerakan, tindakan atau kegiatan.
Untuk mengkonsepsikan gerakan yang disinergikan, lazim dipakai istilah kesatuan. Misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk tahun 1965 sebagai bagian dari kekuatan pembubar PKI. Â
Nah, terbukti sudah, mahasiswa aktivis tahun 1965 ternyata lebih cerdas berbahasa Indonesia, ketimbang mantan-mahasiswa aktivis tahun 2020 ini. Mungkin karena mahasiswa tahun 1966 belum terpapar bahasa twitter dan facebook.
Kesalahan kedua menurut Poltak terdapat pada frasa "aksi menyelamatkan (Indonesia)". Dalam Bahasa Indonesia, seturut hukum DM, kata benda (aksi) harus diterangkan oleh kata benda juga atau oleh kata sifat. Karena itu, bukan "aksi menyelamatkan" (kb-kk), tapi semestinya "aksi penyelamatan" (kb-kb). Â
Bisa dibenarkan seumpama ditulis begini: "Aksinya menyelamatkan" (kucing yang terjebak di dalam pipa pralon, sangat heroik).
Sekali lagi, demikian Poltak, nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bisa menjadi teladan. Analisis DM-nya: kesatuan aksi, aksi mahasiswa, mahasiswa Indonesia. Â
Seratus untuk mahasiswa tahun 1965. Limapuluh untuk para mantan mahasiswa di tahun 2020.
"Sok tahu kamu, Poltak, Nanti kamu dimarahi Khrisna Pabichara, lho." Saya mengingatkan Poltak. Â
"Lho, kalau saya benar, Â buktikanlah. Kalau saya salah, mengapa Khrisna harus marah?" Jawab Poltak retorik emosional, bikin saya bingung. Rasanya ada yang salah dengan logika Poltak.
Untuk menghalau bingung, saya menyeruput kopi yang diseduhkan Poltak untukku.Â
"Tapi ada benarnya," pikirku sedikit lebih jauh, "kalau bikin nama kelompoknya saja kacau, bagaimana saya bisa percaya pada teriakan para tukang kritik itu?" Â
Apakah, misalnya nih, saya layak percaya pada kritik "Jokowi itu pro-China" yang dilontarkan seseorang yang menyebut dirinya Ricky Girang? (Ntar dia bilang pula istrinya Tante Girang.)(*)