Cermin adalah cerita mini, padanya kita boleh bercermin, berharap mengenal diri sejujurnya. Siapakah diriku?
[CERMIN SATU]
Almarhum Hadi Soesastro, salah seorang pendiri CSIS, pernah mengisahkan lelucon ini. Suatu hari dia ditanya anaknya, "Pak, apa yang dari jauh tampak lingkaran, dari dekat ternyata bujur sangkar?"
"Menyerah, Nak," jawab Hadi Soesastro pasrah, Â setelah berpikir cukup keras sejenak. Â
"Itu namanya salah lihat, Pak," teriak anaknya sambil terbahak puas.
Alangkah terbatasnya lima inderaku.
[CERMIN DUA]
Ada dua teka-teki viral dalam dua dialog pendek di bawah ini.
Dialog 1
A: "Apa yang dari atas terlihat salib, dari bawah ternyata  persegi empat?"
B: "Simbol mata angin di Kilometer Nol Kota Surakarta."
A: "Dasar ateis, loe!"
Dialog 2
B: "Apa yang dari jauh terlihat salib, dari dekat ternyata kotak-kotak."
A: "Supergrafis logo 75 tahun Indonesia Merdeka!"
B: "Dasar ateis, loe!"
Alangkah mudahnya aku menghakimi iman orang lain.
[CERMIN TIGA]
Seorang pendaki gunung berkisah bangga kepada Sang Guru.
Si Pendaki: "Setiap kali saya naik gunung, saya selalu bertemu kuntilanak dan  gendoruwo. Tapi saya tidak takut."
Sang Guru: "Nak, yang kamu lihat itu adalah pantulan kejiwaanmu sendiri. Kamulah yang menakutkan, Nak."
Aku mampu melihat selumbar di mata tetangga dengan jelas. Tapi tak bisa melihat balok di pelupuk mataku sendiri.
[CERMIN EMPAT]
Arwah seseorang yang mengklaim diri Ahli Surga tiba di Pintu Gerbang Surga dan berdebat dengan Penjaga Pintu.
Ahli Surga: "Bukakan pintu surga untukku!"
Penjaga Pintu: "Maaf, namamu tidak tercantum dalam Buku Tamu Surga."
Ahli Surga: "Apa katamu? Sepanjang hidupku, sesuai ajaran agamaku, aku selalu membela Tuhan. Aku tidak seperti umat agama lain."
Penjaga Pintu: "Tidak. Kamu tidak pernah membela Tuhan. Sepanjang hidupmu kamu hanya menebar kebencian pada agama lain."
Mengapa aku yakin Tuhan berkenan padaku, padahal aku tak pernah mendengar sepatah kata pun dari mulutNya untukku?
[CERMIN LIMA]
Agustinus, kemudian menjadi Orang Kudus, melangkah risau di pantai. Â Sebabnya, dia tak kunjung paham Rahasia Keperiadaan Tuhan.
Di pantai itu dia bersua dengan seorang anak kecil. Anak itu bolak-balik menciduk air laut dengan telapak tangannya untuk kemudian dituangkan ke dalam lubang di pasir.
Agustinus: "Nak, apa yang sedang kamu lakukan?"
Anak Kecil: "Aku sedang memindahkan air laut ke lubang di pasir ini."
Agustinus: "Hahaha. Bodoh. Itu tidak mungkin, Nak!"
Anak Kecil: "Apakah mungkin juga memahami Tuhan yang Maha Besar dengan otak kita yang maha kecil?" Â
Agustinus tersentak, malu hatinya. Sebelum sadar, Anak itu telah lenyap dari pandangan matanya.
Tuhan bisa hadir dalam diri seseorang yang saya anggap dungu.
[CERMIN Â ENAM]
Poltak selalu marasa paling benar sejagad. Sebab dia yakin Tuhan adalah seperti yang dia pikirkan.Â
Bagi Poltak, siapa dan apa saja yang tidak sesuai dengan pikirannya berarti salah. Â
Ini dialog alot antara Poltak dengan seorang Pastor tua.
Poltak: "Saya berpikir maka Tuhan ada."
Pastor: "Jika Tuhan muat dalam otakmu, maka itu bukan Tuhan melainkan pikiran manusia pendosa."
Ketika Poltak menunjukkan kejelekan pada diri orang lain, seperti Si Pendaki melihat kubtilanak dan gendoruwo, sejatinya dia sedang menunjukkan kejelekannya sendiri.
Poltak salah lihat, salah menilai, karena dia terlalu mengandalkan lima inderanya. Dia tak yakin pada imannya.
Di situ indera tidak mampu, di situ iman jadi tumpuan. Sebab pikiran berbatas, tapi iman tiada bertepi.
Selamat berhari Minggu. Pikir, tulis dan baca yang ringan-ringan saja. Â Laut dan langit hari ini biru, nikmatilah, jangan dilewatkan. (*)
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H