Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

2 Kisah Kecil, 1 Butir Etika Sosial

15 Agustus 2020   16:50 Diperbarui: 15 Agustus 2020   18:21 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi dari Tribunjabar.id

[Kisah Kecil 1]

Suatu hari Pastor Frans berkunjung ke rumah Poltak, seorang umat parokinya yang sudah delapan hari Minggu tidak hadir Misa di gereja. Pastor tahu karena Poltak biasanya selalu duduk di bangku baris ketiga dari depan, di sebelah kiri dari altar. 

"Oh, Romo, aduh, karunia apa ini, dikunjungi Romo.  Silahkan masuk, Romo,"  sambut Poltak saat Pastor Frans tiba di depan pintu rumahnya.  "Apa kabar Pak Poltak, sehat?" Romo Frans menyapa sambil membuka sepatu-sandalnya.

"Romo, tidak usah buka sepatu-sandalnya. Dipakai saja.  Lantai rumah kotor, soalnya," Poltak mempersilahkan Romo Frans agar tetap pakai sepatu-sandal.

"Karena itulah, Pak Poltak.  Saya takut sandal saya nanti jadi kotor," balas Romo Frans dengan mimik serius, sambil tetap meloloskan sepatu-sandal dari kakinya.

"Betul juga," pikir Poltak kenthir. "Kaki kotor dicuci bersih lagi, sepatu-sandal kotor dicuci risikonya rusak."

[Kisah Kecil 2]

Suatu hari MR, seorang mantan anggota DPR RI, naik pesawat terbang rute Gorontalo-Makasar-Jakarta. Dia dalam satu rombongan dengan Wakil Ketua Komisi III DPR RI.  

Ketika pesawat mendarat di Makasar dan melakukan isi-ulang bahan bakar, MR dan sejumlah penumpang tujuan Jakarta yang tetap berada di dalam pesawat, menggunakan teleponnya untuk berbicara dengan seseorang.

Sesuai SOP penerbangan, Mbak Pramugari mengingatkan MR agar tidak mengaktifkan telepon.  Bukannya menon-aktifikan teleponnya, MR malah mengaktifkan anger mode.   Mbak Pramugari yang santun langsung  kena semprot mantan anggota DPR.

Seorang pejabat KPK, namanya NP, mengingatkan MR agar tidak memarahi Mbak Pramugari yang sudah menjalankan tugas dengan baik.

"Kamu siapa!" bentak MR yang rupanya belum pernah dipanggil KPK. 

"Saya penumpang pesawat ini dan oleh karenanya wajib mengingatkan sesama demi keselamatan bersama," jawab NP yang tidak kenal semua mantan anggota DPR.

"Saya di sini bersama Wakil Ketua Komisi III DPR RI!"  Bentak MR berkelanjutan karena Wakil Ketua Komisi III DPR RI rupanya tidak melarang penggunaan telepon di dalam kabin pesawat.

[1 Butir Etika]

Pepatah tua mengingatkan, "Di situ kaki berpijak di situ langit di junjung."  

Sederhananya, jika kita bertamu ke tempat orang lain, maka kita harus mematuhi etika yang berlaku di tempat orang lain itu.

Itu satu butir kecil etika sosial yang mestinya sudah diajarkan orangtua yang beradat kepada anak-anaknya. Itu etika dasar penghargaan dan penghormatan kepada orang lain.

Melanggar etika itu berarti kalau bukan penjajah, ya, penjahat.  Hanya penjajah dan penjahat yang memaksakan aturannya sendiri kepada orang yang didatangi atau disatroninya.

Etika "melepas alas kaki di rumah orang" sudah mendarah daging dalam diri Pastor Frans [Kisah Kecil 1].  Karena itu dia menolak untuk menggunakan sepatu-sandalnya memasuki rumah Poltak. 

Jika kita bertamu ke kediaman seseorang, maka etikanya kita melepas alas kaki sebagai tanda penghormatan. 

Etika tersebut tertera pada setiap ambang pintu rumah.  Memang tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah, melainkan dengan mata bathin.

Pada diri MR [Kisah kecil 2], etika semacam itu rupanya tidak mendarah-daging.  Karena itu dia tetap ngotot memainkan teleoponnya di dalam pesawat yang sedang mengisi bahan bakar, walaupun Mbak Pramugari sudah mengingatkan.

Ketika NP datang mengingatkan, justru dia kena damprat MR karena dinilai lancang, melanggar etika.  Berani-beraninya menasihati orang yang tidak dikenalnya yang ternyata mantan anggota DPR RI.  Akibatnya NP ikut kena sembur amarah MR.

Pelajaran dari dua kisah tadi, setinggi apapun status sosial kita, kita harus mengikuti norma yang berlaku di tempat orang lain, serendah apapun status sosial orang tersebut. Status sosial tinggi bukanlah lisensi untuk melanggar norma.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun