Khrisna Pabichara, Kompasianer Munsyi, itu mengingatkan saya pada sosok Nabi Jonas. Nabi kocak pemberontak ini berteriak-teriak di jalanan kota Ninive. Â Mewartakan kiamat yang akan menimpa kota itu. Â Sebagai hukuman dari Tuhan atas gelimang dosa warga.
Seperti itulah Daeng Khrisna, begitu saya menyapanya, berteriak-teriak selayaknya "nabi munsyi" (dengan n kecil) Â di "kota" Kompasiana. Â Mewartakan "kiamat" yang akan menimpa "kota" ini. Â Sebagai hukuman dari netizen, "tuhan segala medsos", Â atas "dosa-dosa kebahasaan" Kompasianer.
Banyaklah dosa kebahasaan para Kompasianer. Baik dosa besar maupun dosa kecil yang, kalau ditimbun, lama-lama menjadi segunung. Semuanya terpampang di dalam artikel-artikel mereka.
Abai konjungsi, avitaminosis, abai proklitik dan sesat semantik adalah beberapa dosa Kompasianer yang baru-baru ini dibebernya. Banyaklah Kompasianer yang menjadi terdakwa lalu berkelit menyalahkan jemari mereka.
Saya sebenarnya tergolong Kompasianer yang pada awalnya skeptis pada pewartaan Daeng Khrisna, "nabi munsyi" Kompasiana ini. Bukan karena saya meragukan kepakarannya, melainkan karena pemosisian saya terhadap mashab "Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar" versi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPBB).
Diskusi saya dengan Ariel Heryanto, sekarang Herb Feith Professor untuk Studi Indonesia di Universitas Monash, di ruang kuliah UKSW akhir 1980-an, mengantar saya pada posisi pemikiran bahwa "Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar (BIBB)" itu adalah Bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat.
Maksud saya, "Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar" itu kontekstual. Â Bagaimanapun tujuan komunikasi adalah pembentukan kesepahaman. Â Jika dua orang Makasar berdiskusi dalam Bahasa Indonesia logat Makasar, lalu antara mereka tercapai kesepahaman, maka mereka telah menerapkan BIBB.
Risikonya "orang luar-komunitas" kadang memang dihadapkan pada kesulitan menangkap makna.  Poltak, sebagai contoh, pernah mengalaminya.  Ketika menginap di sebuah hotel di Makale, Tana Toraja pada akhir 2018, tetiba listrik padam.  "Apakah listrik sering padam di sini?" tanya Poltak kepada resepsionis hotel, seorang Toraja totok.  "Oh, ada sering  padam, tapi sering-sering nyala, Bapak," jawabnya.  Lha, maksude opo, rek.
Dengan sedikit penggalian informasi, akhirnya Poltak faham maksud jawaban resepsionis. Â Maksudnya, listrik di Makale lebih sering nyala ketimbang padam. Â Jadi, kendati pada awalnya diwarnai kebingungan, Poltak dan resepsionis telah menggunakan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dalam pembicaraan.
Sejujurnya saya pernah nyaris merisak  Daeng Khrisna atas pewartaannya itu.  Urung terjadi karena saya tiba-tiba teringat bahwa diskusi dengan Ariel itu merupakan ekspresi kritik terhadap penggunaan Bahasa Indonesia untuk pengartikulasian kekuasaan negara, dengan memanfaatkan BIBB sebagai tangan pemaksa. Konteksnya, "bahasa adalah kekuasaan".
Saya pikir, Daeng Khrisna tidaklah berpikir sejauh itu, melainkan lebih jauh lagi. Â Kerisauannya adalah adalah kerusakan Bahasa Indonesia, lalu ujungnya keruntuhan, apabila dosa-dosa berbahasa dibiarkan tanpa koreksi. Jika sampai sebuah bahasa kebangsaan runtuh, maka identitas bangsa itu runtuh pula. Â Sebab bahasa adalah identitas bangsa.
Pikiran itulah yang memicu jiwa "kenabian" Daeng Khrisna, layaknya seorang munsyi sejati. Seorang munsyi sejatinya sejak awal sudah menerima perutusan sebagai "nabi" di dunia kebahasaan. Â Itu panggilan yang melakat pada statusnya. Â Jika seorang munsyi tidak melakoni perutusannya itu, maka saya boleh katakan, "Dia adalah munsyi khianat."
Seorang Nabi adalah utusan Tuhan, bukan petugas kerajaan dunia. Â Begitupun seorang nabi munsyi adalah utusan Bahasa itu sendiri, bukan petugas negara atau pemerintah. Â Dia, nabi munsyi itu, adalah manusia merdeka. Â Dia, seperti halnya Daeng Khrisna, hanya tunduk kepada Kaidah Bahasa.
Dengan menerima fungsi kenabian seorang munsyi seperti itu, maka tidak ada alasan mendasar bagi saya untuk tidak mendengar pewartaan Daeng Khrisna tentang dosa-dosa berbahasa dalam penulisan artikel di Kompasiana.  Fakta saya seorang penulis bermashab anarkisme, bukanlah hambatan bagi saya untuk mendengar beberan  "dosa-dosa kebahasaan", mengakuinya, dan kemudian berusaha memperbaiki diri.Â
Bukan semata-mata untuk kebaikan artikel saya tapi, lebih dari itu, demi kelestarian Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang Satu, Bahasa Persatuan. Mendengarkan perkataan seorang nabi munsyi adalah kebaikan. Mengikuti perkataan nabi munsyi itu adalah kebajikan. Â
Atas dasar itu, maka saya harus katakan, "Daeng Khrisna itu adalah nabi munsyi di Kompasiana. Â Dengarkan dan ikutilah dia."
Mungkin mereka yang gemar "berketiak ular" akan berdalih, "Bukankah seorang Nabi harus sempurna?" Dalih diajukan sambil mengumbar kesalahan Daeng Khrisna menuliskan nama Sapardi Djoko Damono menjadi Sapardi Joko Damono.
Hei, tidak ingatkah kamu tentang Nabi Jonas? Hatinya adalah hati manusia biasa. Â Dia sempat menolak perintah Tuhan. Â Dia juga mencak-mencak kepada Tuhan karena azab tidak turun atas Ninive yang sudi bertobat.Â
Daeng Khrisna itu seorang "nabi" munsyi, dengan n kecil. Â Artinya, dia manusia sangat biasa, kalau bukan bersahaja, dengan segala kekeliruan manusiawi. Â Dia bukan Nabi Utusan Tuhan, melainkan "nabi" karena panggilan dan perutusannya sebagai seorang munsyi. Â Dia hanya menjalankan kewajiban sosialnya.
Akhirnya, sebagai "nabi munsyi" di "kota"atau "desa besar" Kompasiana, apakah Daeng Khrisna layak diberi ganjaran atau penghargaan? Â Ijinkan saya menjawabnya dengan sebuah pertanyaan balik: "Adakah seorang Nabi yang diganjar untuk kenabiannya?" Camkanlah, Daeng Khrisna hanya seorang "nabi kecil", bukan seorang pengkotbah komersil yang piawai menjajakan ayat-ayat surga.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H