Pikiran itulah yang memicu jiwa "kenabian" Daeng Khrisna, layaknya seorang munsyi sejati. Seorang munsyi sejatinya sejak awal sudah menerima perutusan sebagai "nabi" di dunia kebahasaan. Â Itu panggilan yang melakat pada statusnya. Â Jika seorang munsyi tidak melakoni perutusannya itu, maka saya boleh katakan, "Dia adalah munsyi khianat."
Seorang Nabi adalah utusan Tuhan, bukan petugas kerajaan dunia. Â Begitupun seorang nabi munsyi adalah utusan Bahasa itu sendiri, bukan petugas negara atau pemerintah. Â Dia, nabi munsyi itu, adalah manusia merdeka. Â Dia, seperti halnya Daeng Khrisna, hanya tunduk kepada Kaidah Bahasa.
Dengan menerima fungsi kenabian seorang munsyi seperti itu, maka tidak ada alasan mendasar bagi saya untuk tidak mendengar pewartaan Daeng Khrisna tentang dosa-dosa berbahasa dalam penulisan artikel di Kompasiana.  Fakta saya seorang penulis bermashab anarkisme, bukanlah hambatan bagi saya untuk mendengar beberan  "dosa-dosa kebahasaan", mengakuinya, dan kemudian berusaha memperbaiki diri.Â
Bukan semata-mata untuk kebaikan artikel saya tapi, lebih dari itu, demi kelestarian Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang Satu, Bahasa Persatuan. Mendengarkan perkataan seorang nabi munsyi adalah kebaikan. Mengikuti perkataan nabi munsyi itu adalah kebajikan. Â
Atas dasar itu, maka saya harus katakan, "Daeng Khrisna itu adalah nabi munsyi di Kompasiana. Â Dengarkan dan ikutilah dia."
Mungkin mereka yang gemar "berketiak ular" akan berdalih, "Bukankah seorang Nabi harus sempurna?" Dalih diajukan sambil mengumbar kesalahan Daeng Khrisna menuliskan nama Sapardi Djoko Damono menjadi Sapardi Joko Damono.
Hei, tidak ingatkah kamu tentang Nabi Jonas? Hatinya adalah hati manusia biasa. Â Dia sempat menolak perintah Tuhan. Â Dia juga mencak-mencak kepada Tuhan karena azab tidak turun atas Ninive yang sudi bertobat.Â
Daeng Khrisna itu seorang "nabi" munsyi, dengan n kecil. Â Artinya, dia manusia sangat biasa, kalau bukan bersahaja, dengan segala kekeliruan manusiawi. Â Dia bukan Nabi Utusan Tuhan, melainkan "nabi" karena panggilan dan perutusannya sebagai seorang munsyi. Â Dia hanya menjalankan kewajiban sosialnya.
Akhirnya, sebagai "nabi munsyi" di "kota"atau "desa besar" Kompasiana, apakah Daeng Khrisna layak diberi ganjaran atau penghargaan? Â Ijinkan saya menjawabnya dengan sebuah pertanyaan balik: "Adakah seorang Nabi yang diganjar untuk kenabiannya?" Camkanlah, Daeng Khrisna hanya seorang "nabi kecil", bukan seorang pengkotbah komersil yang piawai menjajakan ayat-ayat surga.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H