Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Prabowo, "Jenderal Lumbung Pangan Nasional"

5 Agustus 2020   05:58 Diperbarui: 5 Agustus 2020   15:09 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pemilik perusahaan yang nyaris bangkrut harus memilih satu dari dua orang calon direktur utama yang baru. Satunya adalah pensiunan tentara Amerika yang berkali-kali lolos dari sergapan  dan sekapan musuh semasa perang Vietnam.  Satu lagi mantan direktur berkinerja cemerlang pada beberapa perusahaan sehat.  

Setelah menimbang dengan cermat, pemilik perusahaan akhirnya memilih pensiunan tentara sebagai direktur utama baru.  

Alasannya sederhana.  Katanya, "Seorang tentara yang telah teruji mampu lolos dari risiko kematian di kancah perang, lebih bisa diandalkan untuk menyelematkan perusahaan, ketimbang seorang  mantan direktur yang cemerlang di perusahaan yang sehat."

Kisah itu saya baca  dalam buku Jim Collins, Good to Great, yang saya dapatkan sebagai bingkisan dari suatu seminar. (1)

Mendadak kisah itu muncul di ingatan saat membaca berita penunjukan Prabowo, Menteri Pertanahan (Menhan) RI menjadi komandan (leader) program Lumbung Pangan Nasional (LPN). (2)

Jika Presiden Jokowi ditempatkan pada posisi pemilik perusahaan yang nyaris bangkrut tadi, maka menjadi masuk akal mengapa dia lebih memilih Prabowo ketimbang Syahrul Yasin Limpo (SYL), Menteri Pertanian (Mentan) sebagai "Jenderal" untuk memimpin pembangunan  LPN.  

Alasannya begini.  Pertama, pangan, dalam hal ini beras, adalah komoditas strategis, salah satu indikator ketahanan nasional untuk konteks Indonesia.  

Boleh dikatakan pangan (beras) adalah kekuasaan. Krisis pangan akan memicu krisis politik dengan risiko presiden terjungkal dari kursinya.  

Jika hal itu sampai terjadi, maka ketahanan negara akan goyah.  Karena alasan itu, risiko krisis pangan harus dimitigasi sampai titik terendah.  

Karena urusan ketahanan nasional adalah urusan inti Kementerian Pertahanan, maka menjadi masuk akal untuk menunjuknya sebagai "sektor pemimpin" (leading sector)  "proyek ketahanan pangan" bertajuk "Lumbung Pangan Nasional" itu.

Kedua, Prabowo, dibanding SYL, jauh lebih teruji sebagai pribadi tangguh yang telah terbukti mampu mengatasi semua masalah serius sepanjang karier ketentaraan dan politiknya.  

Hanya Prabowo yang sudah terbukti mampu keluar dari posisi kritis dalam kancah perang dan di lingkungan ketentaraan untuk kemudian melejit di kancah perpolitikan nasional.  

Artinya, Prabowo sudah teruji kemampuannya untuk menghadapi kondisi krisis dan keluar dari cengkeramannya. Tipe pribadi seperti inilah, seorang "petarung pantang menyerah", yang tepat untuk memimpin program LPN yang tergolong Mission Imposible. Nanti akan saya jelaskan soal ini.

Intinya, Prabowo adalah orang yang tepat (Petarung) yang berada di tempat yang tepat (Kemenhan) pada saat negara menghadapi risiko ketahanan nasional (krisis pangan). 

Siapapun presidennya, jika dia seorang yang memiliki intuisi bisnis kuat, dan jujur, pasti akan menunjuk Prabowo sebagai "Jenderal LPN."

***
Mengapa program LPN saya sebut sebagai Mission Imposible?  Untuk memahami ini, kita perlu kembali sejenak ke periode 2015-2019. 

Pada periode pertama pemerintahan Jokowi itu, dia mencanangkan target pencetakan sawah 1 juta ha, sebagai program inti Ketahanan Pangan Nasional.  

Sektor pemimpin pencetakan 1 juta ha sawah itu adalah Kementan dan "Jenderal"-nya adalah Menteri Pertanian.  Tapi, faktanya sepanjang 2015-2019 Kementan hanya berhasil mencetak sawah seluas 240,000 ha.  Ini hanya 24 persen dari target 1 juta ha.  Artinya, misi 1 juta ha gagal tercapai.

Diam-diam, agaknya Presiden Jokowi menyimpan "dendam".  Dia lalu membulatkan tekad untuk mewujudkan pencetakan sawah total 1 juta ha pada tahun 2020-2024, periode kedua pemerintahannya.  

Tapi Jokowi agaknya kecewa pada kinerja Kementan.  Untuk tahun 2020 ini saja, Kementan hanya menargetkan pencetakan sawah seluas 6,000 ha. Lha, sampai kapan harus menunggu capaian 1 juta ha?  Kementan terlihat seperti penunggang kelomang yang memburu rusa.  

Melihat sejenak ke belakang, dalam periode 2006-2014 Kementan hanya berhasil mencetak sawah seluas 431,000 ha.  Jika dihitung sampai tahun 2019, berarti luas total sawah tercetak adalah 671,000 ha.  Artinya kemampuan Kementan untuk cetak sawah ganya rata-rata 52,000 ha/tahun.  

Jika kemampuan Kementan serendah itu, berarti untuk periode 2020-2024 luas sawah yang bisa dicetak paling banyak 260,000 ha. Ditambah realisasi periode 2015-2019 seluas 240,000 ha, maka total tercetak adalah 500,000 ha.  

Itu hanya 50 persen dari target 1 juta ha yang dicanangkan Jokowi tahun 2015. (Literally) mission (is) imposible (for Kementan). Kementan gagal mengikuti jejak unta masuk "lubang jarum."

Apa yang harus dilakukan seorang pemilik perusahaan jika misi gagal tercapai? Tepatnya, jika kinerja perusahaannya hanya 50 persen dari target, padahal waktu yang dihabiskan naik 100 persen?  

Hanya satu langkah:  ganti direktur utamanya dengan orang yang lebih tangguh.  

Kurang lebih seperti itulah yang dilakukan Presiden Jokowi dalam penunjukan Prabowo sebagai "Jenderal Lumbung Pangan Nasional." 

Kepada Prabowo target Mission Imposible dipercayakan: mencetak sawah 760,000 ha dalam tempo 5 tahun (2020-2024). Untuk menggenapi mimpi Jokowi mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar.

Jokowi yakin, hanya seseorang yang sudah terbukti mampu keluar dari situasi-situasi kritis yang bisa mewujudkan Mission Imposible itu.  Prabowo-lah orangnya, bukan yang lain.  

***
Ada dua langkah peningkatan produksi pangan atau beras untuk konteks Indonesia.  

Pertama, intensifikasi yaitu peningkatan total produksi beras per hektar pada luas baku sawah yang tertentu melalui adopsi teknologi budidaya yang berdampak peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman (IP, frekuensi tanam) atau luas panen. 

Kedua, ekstensifikasi yaitu peningkatan total produksi melalui perluasan areal baku sawah sehingga total luas tanam dan luas panen meningkat juga.

Kementan agaknya kini diminta fokus pada program intensifikasi pada luas baku sawah 7.5 juta ha.  Jika IP bisa dinaikkan dari 1.4 (kini) menjadi  1.5 dan produktivitas naik dari 5.2 ton GKG/ha (kini) menjadi 5.4 ton, maka akan diperoleh 61 juta ton GKG atau setara 38 juta ton beras.  

Jika  diasumsikan penduduk Indonesia 270 juta juwa, dan konsumsi beras per kapita 114kg/tahun (ukuran BPS), maka total konsumsi beras nasional adalah 31 juta ton/tahun. Artinya, surplus 7 juta ton.  

Sepakat dengan Pemerintahan Presiden Susilo B. Yudhoyono (SBY) dulu, batas aman surplus beras adalah 10 juta ton. Artinya, masih kurang 3 juta ton lagi.

Pemenuhan defisit cadangan (surplus) beras 6.5 juta ton itulah hendak dicapai melalui jalur ekstensifikasi, pencetakan areal sawag baru di Kalimantan.   Inilah target yang dibebankan kepada Prabowo selaku "Jenderal Lumbung Pangan Nasional."

Jika Prabowo berhasil mencetak sawah baru 760,000 ha di Kalimantan dalam periode 2020-2024, maka pada 2024 sedikitnya akan diperoleh tambahan produksi GKP sebesar 5.8 juta ton atau setara beras 3.6 juta ton (IP 1.4, produktivitas 5.5 ton GKG/ha, konversi GKG-Beras 62.04%).  

Jika hasil 3.6 juta ton itu ditambahkan ke surplus 7 juta ton hasil intensifikasi, maka Indonesia memiliki surplus (cadangan) beras 10.6 juta ton/tahun tahun 2024.

Jika menjadi kenyataan, lalu apa arti semua capaian itu?  Sederhana: Presiden Jokowi membayar lunas kegagalan dua presiden pendahulunya. 

Pertama, mewujudkan target cetak sawah total 1 juta ha yang dulu gagal diwujudkan Soeharto dengan PLG 1 juta hektarnya. 

Kedua, mewujudkan surplus beras nasional 10 juta ton/tahun yang dulu gagal dicapai SBY dalam 10 tahun masa pemerintahannya.

Siapakah orang yang dipercaya Jokowi untuk membayar lunas kegagalan dua presiden pendahulunya itu?  Kriterianya, seseorang yang juga punya kualitas sebagai presiden.  

Hanya ada satu nama yang memenuhi kriteria itu: Prabowo.  Maka Jokowi memilihnya menjadi "Jenderal Lumbung Pangan Nasional." Ada yang keberatan?(*)
 
Rujukan:
[1] Jim Collins, Good to Great, Jakarta: Gramedia, 2014
[2] "Jokowi Tunjuk Prabowo jadi 'Leading Sector' Lumbung Pangan Nasional", Kompas.com - 09/07/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun