Â
"Artikel Utama", Â itukah ukuran artikel terbaik di Kompasiana? Ya dan tidak.Â
Ya, jika saya percaya bahwa Admin K menggunakan indikator yang mewakili kepentingan khalayak dalam kurasi artikel.
 Tidak, jika saya menganggap indikator yang digunakan Admin K hanya memenuhi kepentingan bisnis dari suatu konglomerat media. Â
Ukuran artikel terbaik, dengan demikian, mesti dikembalikan pada jawaban atas pertanyaan ini: Â "Kepentingan apa yang saya bawakan?" atau "Nilai-nilai apa yang saya perjuangkan?"
Hal kepentingan atau nilai itu akan menentukan posisi saya sebagai Kompasianer di Kompasiana. Ada dua kemungkinan posisi. Â
Pertama, saya menerima nilai atau kepentingan kapitalistik Kompasiana.Â
Dengan begitu saya mengingkari identitas otentikku lalu, meminjam istilah S. Kierkegaard, Â mengenakan identitas sosial palsu sebagai anggota kerumunan Kompasiana. Di sini saya tampil sebagai pengabdi kepentingan Kompasiana.
Kedua, Â saya menolak tunduk pada kepentingan Kompasiana, lalu tampil membawakan kepentingan atau nilai sendiri.Â
Artinya, saya tampil dengan identitas sosial otentik yang menyimpang dari identitas palsu anggota kerumunan. Di sini saya tampil sebagai penyimpang sosial, menolak pengabdian pada kepentingan Kompasiana.
Dua posisi itu, "pengabdi" Â dan "penyimpang", punya konsekuensi yang berbeda terhadap perilaku ber-Kompasiana. Tanpa memberi penilaian baik atau buruk, saya akan coba jelaskan hal tersebut di sisa tulisan ini.Â
Tapi sebelum itu, saya perlu jelaskan dulu tentang nilai kapitalusme Kompasiana.
***
Bagi saya Kompasiana itu bukan sebuah institusi yang steril dari nilai atau kepentingan. Naif jika menerima Kompasiana sebagai institusi yang netral atau bebas nilai. Â
Sebagai bagian dari konglomerat media Kelompok Kompas-Gramedia (KKG) sudah pasti Kompasiana itu mengusung nilai atau kepentingan kapitalis. Â
Nilai utama bagi kapitalis adalah surplus ekonomi. Artinya modal (kapital) yang ditanamkan di Kompasiana harus memberikan keuntungan (laba, surplus) bisnis.
Karena itu Kompasiana harus membuat dirinya menarik sebagai wahana promosi bagi dunia bisnis  Caranya dengan meningkatkan jumlah kunjungan dan intensitas keterbacaannya.Â
Dengan begitu dia, misalnya, masuk dalam peringkat 50 besar Alexa (lembaga pemeringkat media daring), atau kalau bisa 25 besar. Â Pemeringkatan ini adalah rujukan bagi mitra bisnis.
Untuk meningkatkan kunjungan dan keterbacaan, Â Kompasiana lalu membuat standar "artikel bermutu" khas kapitalis yaitu mengangkat isu yang sedang tren, atau isu yang sedang diproyeksikan Kompasiana untuk menjadi tren. Â Sebab isu-isu semacam itulah yang akan diburu oleh khalayak.
Kategori "Artikel Utama", juga "Pilihan", kemudian diciptakan dan dimanfaatkan sebagai instrumen untuk menggiring Kompasianer menulis artikel-artikel yang memenuhi kepentingan bisnis Kompasiana. Â
Itu masih didukung dengan instrumen K-Rewards berupa uang bagi Kompasianer yang artikel-artikelnya mampu meraih total kunjungan (unique views, UV) munimal 3,000 UV. Â
Dengan cara itulah institusi Kompasiana memobilisasi Kompasianer untuk memproduksi artikel-artikel yang memenuhi kepentingan kapitalistiknya. Dalam konteks mobilisasi itu, disadari atau tidak, Kompasianer sebenarnya telah menjadi kekuatan produksi untuk mencapai kepentingan kapitalis Kompasiana. Â
Terbentuknya relasi produksi semacam itu sah-sah saja. Setiap Kompasianer sudah menerimanya ketika mendaftar dan menyetujui semua syarat dan aturan. Â Karena itu jangan pernah ada Kompasianer yang merasa tertipu atau terzalimi. Â
Dengan pemahaman tentang karakter Kompasiana seperti itu, saya sekarang masuk pada paparan tentang dua posisi Kompasianer yaitu pengabdi dan penyimpang.
***
Jika saya pada posisi pengabdi, maka saya akan selalu berusaha tampil menjadi yang terbaik menurut ukuran kepentingan kapitalistik Kompasiana. Dan ukuran terbaik di sini adalah meraih prestasi "Artikel Utama".
Konsekuensinya, terjadilah kompetisi di antara anggota kerumunan  pengabdi  untuk tampil menjadi yang terbaik di Kompasiana. Siapa yang artikelnya dipilih Admin K menjadi Artikel Utama, dialah pemenang kompetisi atau yang terbaik dalam kerumunan.
Seorang pengabdi  tidak perduli apakah artikelnya memenuhi kepentingan atau nilai-nilai khalayak.  Itu tidak penting. Hal terpenting baginya adalah memenuhi kepentingan Kompasiana demi meraih prestasi "Artikel Utama".
Karena itu Kompasianer pengabdi cenderung fokus menulis isu-isu yang sedang tren atau diusahakan nge-tren, misalnya "Topik Pilihan", Â oleh Kompasiana. Â Dengan gaya tulis khas standar Kompas.Â
Karena isu-isu dan gaya tulis seperti itulah yang dianggap punya nilai jual atau nilai pasar. Artinya berpotensi menjaring banyak pembaca.Â
Semakin banyak kunjungan pembaca, semakin tinggi nilai komersil Kompasiana. Sehingga semakin banyak pula iklan masuk. Â
Seorang pengabdi dalam Kompasiana pada dasarnya adalah seorang Aristotelian (Aristoteles) yang menulis artikel demi kemegahannya sendiri. Â
Semakin kerap dia meraih posisi "Artikel Utama", dan semakin besar jumlah pembacanya, maka semakin megah namanya di lingkungan  kerumunan Kompasiana.
Seorang pengabdi tidak menyadari, atau bahkan menolak sadar, Â bahwa kemegahan yang diraihnya bukanlah representasi dirinya yang otentik melainkan yang palsu. Â
Sebab sejatinya dia telah mengingkari otentisitasnya untuk menjadi anggota kerumunan palsu di dunia maya Kompasiana. Di situ dia telah menghambakan diri kepada kepentingan atau nilai-nilai kapitalis yang dibawakan Kompasiana. Â
***
Jika saya pada posisi penyimpang, maka saya menolak tampil seturut nilai atau kepentingan kapitalis yang diemban Kompasiana. Pada posisi itu, Â "Artikel Utama" Â bukanlah suatu tujuan pokok atau target terencana bagiku, melainkan lebih sebagai "hasil tambahan" (side effect). Â
Bagi seorang penyimpang, status "Artikel Utama" itu adalah sebuah koinsidensi nilai atau kepentingan. Â Dia adalah suatu peristiwa khas kongruensi (perjumbuhan) nilai atau kepentingan antara Kompasiana dan Kompasianer.Â
Bukanlah penyimpang itu yang mengejar target "Artikel Utama" tetapi Kompasiana  (Admin K) sendirilah yang  "menemui" artikel itu karena bersesuaian dengan nilai atau kepentingannya.
Penyimpang itu senantiasa mengalami Kompasiana sebagai wahana komunikasi, bukan kompetisi. Itu sebabnya dia tidak pernah menarget prestasi "Artikel Utama".Â
Tujuan utamanya adalah pencapaian kesepahaman dengan khalayak pembaca, tentang suatu isu yang dibahas dalam artikelnya. Â Itulah inti komunikasi, jika meminjam perspektif Habermasian (J. Habermas).
Pilihan isu artikelnya tidak tunduk pada topik yang sedang tren di ruang publik. Juga tidak topik yang diusahakan jadi tren oleh Kompasiana. Â
Sesuai dengan nilai atau kepentingannya, seorang penyimpang selalu tampil dengan isu-isu yang khas. Kerap kali isu-isu itu tidak populer, bahkan tidak terpikirkan sebelumnya.
Penyimpang cenderung menawarkan kebaruan atau sekurangnya sesuatu yang baru. Â Entah itu isu atau cara pandang. Â Dia menolak repetitif karena repetisi baginya bermakna anti-kreasi, anti-inovasi dan tidak produktif.Â
Repetisi suatu isu populer, dalam bentuk hujan artikel, dengan cepat akan berujung pada kejenuhan. Orang segera  melupakannya, tanpa memetik satu pelajaran apapun.
Beda halnya dengan artikel yang mengusung isu baru dan unik. Â Artikel semacam itu cenderung mengundang diskusi antar penulis dan pembaca ataupun antar-pembaca sendiri.Â
Orientasinya untuk mencapai kesepahaman bersama atas satu soal. Â Walau di ujungnya kesepahaman tidak tercapai, sekurangnya orientasinya sudah ke sana.
Risiko bagi seorang Kompasianer penyimpang adalah jumlah kunjungan (unique views) yang kecil. Â Selain karena artikelnya tidak dipilih menjadi "Artikel Utama", walau masuk kategori "Artikel Pilihan", faktor pilihan isu yang tidak populer atau tren menjadi penyebabnya. Â
Tapi bagi seorang penyimpang, jumlah kunjungan yang kecil bukan masalah. Hal terpenting baginya adalah manfaat atau maslahat yang disumbangkan artikelnya, kendati hanya untuk segelintir orang. Baginya, meminjam prinsip Baconian (F. Bacon), menulis itu untuk kemaslahatan sesama. Â
Kompasianer penyimpang lebih mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas pengunjung. Â Dia lebih suka artikelnya dikunjungi sedikit pembaca yang memberikan respon cerdas dan serius. Â Ketimbang artikel dikunjungi sangat banyak pembaca tapi tanpa suatu respon. Atau jika ada respon, cuma basa-basi saja.
***
Seperti sudah saya bilang dimuka, artikel ini tak punya pretensi untuk memberi penilaian baik atau buruk. Posisi kapitalistik Kompasiana adalah keniscayaan sebagai bagian dari konglomerat media KKG. Tidak bisa diharapkan lain dari itu.
Posisi sebagai pengabdi atau penyimpang bagi Kompasianer adalah pilihan. Â Karena itu tak ada dasar untuk mengatakan pengabdi lebih baik dibanding penyimpang atau sebaliknya.Â
Pada posisi manapun Kompasianer berdiri, selalu ada nilai atau kepentingan yang diperjuangkan.
Fakta Kompasianer pengabdi itu menjadi kekuatan produksi bagi kapitalis Kompasiana bukanlah sesuatu yang bernilai negatif. Dalam konteks sistem dunia yang berformasi sosial kapitalis (I. Wallerstein), relasi sosial dengan kapitalis adalah keniscayaan. Entah itu sebagai konsumen, sub-produsen, ataupun bagian dari kekuatan produksi yaitu sebagai pekerja. Â
Begitu juga dengan posisi penyimpang. Tdak dengan sendirinya menjadi negatif hanya karena menyimpang dari nilai yang dibawakan Kompasiana, wahana tempatnya berkarya. Banyak kemajuan iptek dan sosial di dunia ini yang diraih berkat inisiatif dan karya para penyimpang.Â
Galilei, Edison, Einstein, Jobs, Gates, Musk, Jack Ma dan Nadiem adalah sekadar contoh penyimpang sosial yang membuahkan kemajuan iptek.Â
Begitupun, artikel-artikel tren di Kompasiana untuk sebagian adalah hasil karya penyimpang. Bukan artikel arus utama, tapi artikel unik yang mampu memenangkan perhatian khalayak.
Bagi saya, satu hal yang merisaukan sebenarnya adalah gejala Kompasiana berkembang sebagai wahana kompetisi. Memang tetap ada kelompok penyimpang yang memberi warna "pemberontakan" di dalamnya. Tapi posisinya periferal terhadap mayoritas pengabdi, Kompasianer arus utama, yang mengalami Kompasiana sebagai wahana kompetisi. Â
Dunia kita, karena itu, semakin bikin tensi darah stabil tinggi.  Hogh spanning dari subuh sampai subuh. Sudah di alam nyata kita harus bersaing dengan orang lain, demi sesuap nasi, di dunia maya Kompasiana juga masih harus bersaing meraih posisi terbaik. Â
Lalu kita pikir posisi terbaik di Kompasiana itu memenuhi kepentingan kita. Padahal sejatinya kita lebih memenuhi kepentingan kapitalistik Kompasiana.Â
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan ini. Hanya saja, ada satu perkara yang merisaukan: komunikasi di Kompasiana terasakan cenderung memudar. Â
Maka tinggal satu pertanyaan untuk Kompasianer. Apakah akan menjadikan Kompasiana lebih sebagai wahana kompetisi ketimbang komunikasi?
Biasanya ada yang bertanya kepada saya, setelah menulis artikel semacam ini, "Apakah tidak khawatir akunnya dibekukan Admin K?" Itu khas pertanyaan seorang pengabdi. Â
Saya biasanya tidak menanggapi. Tapi kali ini saya mau bilang, "Pemberontak berdiri di anjungan, penjilat bergelantungan di buritan."(*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H