Kenthir sebagai anarkisme literasi itu serius, bukan sekadar "haha-hehe". Â Karena itu mungkin bisa disebut sebagai neo-kenthir(isme), untuk membedakan dengan kenthir a'la Planet Kenthir.
Artikel-artikel neo-kenthirisme atau anarkisme literasi itu berbicara tentang segala isu. Â Mulai dari politik, humaniora, pemerintahan, ekonomi, teknologi, hiburan, sampai fiksi. Tidak ada pembatasan.
Artikel neo-kenthirisme itu juga analitis, sebab memegang teguh kaidah logika. Hanya saja, cara dan hasil analisisnya beda dari artikel arus-utama atau penganut pakem umum. Kalau tidak beda, bukan kenthir namanya, bukan "metode tanpa metode" atau anarki literasi metodenya.Â
Maksud saya jelas. Â Tidak bisa seseorang menulis artikel penuh umpatan, fitnah, dan hoaks lalu bilang "Demi segala dewa literasi, saya menulis artikel neo-kenthir!" Â Itu, sih, kenthir beneran. Â Orang seperti itu perlu terapi di Bareskrim.
Begitulah. Â Saya menilai perlu memberi klarifikasi soal (neo-)kenthir(isme) ini dengan menempatkannya sebagai bentuk anarkisme literasi yang saya anut. Â Klarifikasi ini penting untuk menghindari cibiran nyinyir, "Kasihan, tua-tua kok kenthir."Â
Mencibir dan menyinyir itu tanda tak mampu, saudara-saudara. Selain juga menyakiti jiwa sendiri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H