Kenthir itu artinya "ganteng dan baik budi". Itu jawaban kenthir saya pada seorang rekan Kompasianer yang bertanya, "Kenthir itu artinya apa?" Pertanyaannya kenthir, ya, jawabannya juga kenthir.
Dengan jawaban kenthir itu saya mau bilang, "Jangan tanyakan definisi kepada penulis kenthir." Dia akan menjawab semaunya. Bukan karena dia tidak tahu. Tapi karena, baginya, "Definisi itu bisa membunuh."
Maksud saya, suatu definisi bisa membunuh kreativitas dan inovasi. Kalau saya mengambil definisi kenthir sebagai "sinting level-2" maka dijamin tidak ada orang, termasuk saya, yang sudi menjadi penulis kenthir. Siapa, sih, yang mau disebut "sinting", sekalipun faktanya begitu?
Menolak menjadi penulis kenthir, lantaran definisi sialan itu, berarti menolak menjadi penulis yang merdeka, kreatif dan inovatif. Lihatlah betapa sadisnya definisi kenthir tadi. Dia baru saja membunuh kemerdekaan, kreativitas dan inovasi dalam berliterasi.
Saya memaknai, bukan mendefinisikan, kenthir sebagai "pikiran dan tindakan yang melampaui pakem." Orang lain mungkin menyebut itu out of the box, terserahlah. Saya lebih suka menyebutnya "penyimpang sosial" (social deviant). Orang yang cenderung berpikir dan bertindak keluar dari "pakem sosial" atau kelaziman umum.
Penyimpang sosial itu tipe manusia yang ogah dikungkung pakem sosial. Dia selalu mencari inisiatif, kreasi atau inovasi baru demi kebaikan atau kemaslahatan. Â
Contoh ekstrimnya adalah Nyi Eroh, perempuan petani warga Kampung Pasirkadu, Cisayong Tasikmalaya. Sendirian dia tahun 1985 melakukan hal yang teramat gila menurut para lelaki sekampungnya: memapas cadas di lereng Galunggung untuk mengalirkan air ke 400 m2 sawahnya dengan alat blencong dan cangkul. Hasilnya, irigasi sukses, tidak saja baginya tapi juga petani sedesanya.
Di ranah literasi, khususnya kepenulisan, penulis kenthir itu adalah penyimpang sosial. Saya menyebutnya sebagai salah satu bentuk anarkisme literasi. Â Suatu faham berliterasi yang anti-pembakuan, anti-metode, tapi tetap setia pada kaidah logika, etika dan estetika literasi khususnya kepenulisan. Â
(Tentang anarkisme literasi, dengan merujuk pada anti-metodologi filsuf Paul Feyerabend, Â sudah kerap saya sampaikan melalui sejumlah artikel di Kompasiana. Pembaca silahkan cari sendiri artikel-artikel itu. Sebab membaca adalah mencari.)
Dengan menyebut kaidah logika, etika dan estetika, saya hendak menarik batas tegas dengan aliran "Planet Kenthir" Kompasiana. Aliran ini menganut pendirian "menulis adalah menghibur diri." Â Itu sebabnya artikel warga "planet" itu umumnya masuk di kanal "Hiburan". Â Label "Artikel Pilihan", apalagi "Artikel Utama", Â bukanlah cita-cita.Â
Satu hal yang saya sepakati dari Planet Kenthir adalah penghancuran tembok elitisme kepenulisan. Â Bagi warga Planet Kenthir, kepenulisan adalah hak segala bangsa dan setiap orang adalah penulis. Â
Kenthir sebagai anarkisme literasi itu serius, bukan sekadar "haha-hehe". Â Karena itu mungkin bisa disebut sebagai neo-kenthir(isme), untuk membedakan dengan kenthir a'la Planet Kenthir.
Artikel-artikel neo-kenthirisme atau anarkisme literasi itu berbicara tentang segala isu. Â Mulai dari politik, humaniora, pemerintahan, ekonomi, teknologi, hiburan, sampai fiksi. Tidak ada pembatasan.
Artikel neo-kenthirisme itu juga analitis, sebab memegang teguh kaidah logika. Hanya saja, cara dan hasil analisisnya beda dari artikel arus-utama atau penganut pakem umum. Kalau tidak beda, bukan kenthir namanya, bukan "metode tanpa metode" atau anarki literasi metodenya.Â
Maksud saya jelas. Â Tidak bisa seseorang menulis artikel penuh umpatan, fitnah, dan hoaks lalu bilang "Demi segala dewa literasi, saya menulis artikel neo-kenthir!" Â Itu, sih, kenthir beneran. Â Orang seperti itu perlu terapi di Bareskrim.
Begitulah. Â Saya menilai perlu memberi klarifikasi soal (neo-)kenthir(isme) ini dengan menempatkannya sebagai bentuk anarkisme literasi yang saya anut. Â Klarifikasi ini penting untuk menghindari cibiran nyinyir, "Kasihan, tua-tua kok kenthir."Â
Mencibir dan menyinyir itu tanda tak mampu, saudara-saudara. Selain juga menyakiti jiwa sendiri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H