Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Mengapa Poltak Membeli Barang Rusak?

30 Juni 2020   16:29 Diperbarui: 30 Juni 2020   18:31 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beli barang rusak?  Mengapa tidak. Memangnya kalau belanja di pasar loak, kita beli barang apaan. Barang rusak, bukan? Cuma barangnya sudah dipoles di sana-sini. Jadi kelihatan rada genah. Tapi tetap saja namanya "barang rusak" (yang sudah diperbaiki).

Barang rusak juga harganya mahal.  Coba pergi ke pasar loakan Triwindu Solo.  Cari lampu gantung antik. Siap-siap aja balik badan karena harganya mahal banget, walau sudah ada cacatnya.

Atau coba pergi ke pasar perabotan bekas di Ciputat Tangerang.  Untuk sebuah peti tua kayu jati ukuran kecil, yang sudah gompel sana-sini dan patah engselnya, siap-siaplah mengeluarkan uang dua jutaan rupiah.

Begitulah.  Barang sudah rusak.  Tapi tetap saja dibeli dengan sukaria. Mengapa?

***

Saya akan coba jawab pertanyaan itu dengan kisah pengalaman Poltak membeli celana pendek berbahan kain tenun ikat Flores di Maumere tahun 1990.

Waktu itu Poltak, pada suatu sore hari, berdua dengan seorang turis pria bule, sibuk memilih-milih celana pendek berbahan tenun ikat di sebuah toko souvenir.

Mereka sama-sama tertarik pada celana pendek dengan motif sama.  Ada dua potong. Satu bagus, satunya lagi ada bolongannya di pipa kiri.  Harganya sama, Rp 25,000.   

Ndilalah, turis bule itu memilih celana yang ada bolongnya.  Katanya, "Dengan bolongan ini, mungkin saya bisa dapat potongan harga."  Ya, sudah.  Poltak mengambil celana yang bagus.

Sewaktu membayar di pemilik toko merangkap kasir, turis bule itu minta potongan harga atas cacat bolong pada celana.

"Tidak ada potongan," kata pemilik toko.   "Harga duapuluh lima ribu rupiah itu sudah murah. Kalau tidak mau, ya, sudah."

Turis bule malang itu memelas balik badan menatap celana yang dipegang Poltak penuh harap.

"Oke, kamu bisa ambil ini," Poltak mengangsurkan celana bagus ke turis bule yang menyambutnya sukacita.  Pikir Poltak, "Saya bisa cari celana lain di toko lain."

Ketika turis bule tadi sudah keluar dan Poltak mulai beranjak keluar, tiba-tiba pemilik toko menawarkan, "Bapak boleh bayar sepuluh ribu saja untuk celana pendek bolong ini."

Tanpa pikir panjang disertai ucapan terimakasih, Poltak langsung membayar Rp 10,000 dan menenteng celana pendek bolong itu dengan sukaria.

Pikir Poltak, "Semua celana pada akhirnya akan bolong juga.  Saya hanya mendapatkan bolongnya lebih cepat dengan membayar lebih murah."

***

Sudah tahu bolong, mengapa Poltak tetap mau beli celana pendek itu?   Harga murah, 40 persen dari harga asli, hanyalah satu alasan.   Bukan itu yang utama.

Alasan utama adalah motif tenun yang sangat memikat pada bahan celana itu.  Poltak tidak terlalu paham motif apa namanya.  Itu khas Maumere. Beda dengan motif sarung tenun yang dilihatnya di pasar kain tenun Ende.

Selain itu bahannya juga benang katun asli dan menggunakan bahan pewarna alami.  Dilihat dari tampilannya yang sudah agak lusuh, dipastikan celana itu dibuat dari kain tenun tua yang sudah ada bolongnya.  

Jadi "cacat bolong" itu sebenarnya penanda usia tua pada bahan celana pendek tersebut. Entah sudah berapa orang perempuan yang pernah menyandang kain bakal celana itu sebelum kemudian dijual dan dijadikan celana pendek.  

Ada sejarah kain tenun yang tidak tercatat dan tidak terujarkan melekat di celana pendek itu. Mungkin saja kain itu dulu dijual pemiliknya untuk menebus beberapa kilogram beras di masa paceklik.

Jadi, untuk menyimpulkan, inilah alasan Poltak mau membeli celana bolong, termasuk kategori barang rusak:  unik, estetis, bersejarah, dan murah.  Harga murah, Rp 10,000, itu adalah karunia untuk "orang baik".  Lazimnya orang bayar mahal untuk barang "unik, asli, estetis, bersejarah".  Sekalipun itu dalam keadaan rusak.

***

Poltak memang kerap dihadapkan pada pilihan beli barang baru atau barang bekas (yang pasti sudah pernah rusak)?   Keputusannya tergantung pada jenis barang yang hendak dibeli.

Untuk lemari, Poltak lebih suka beli barang bekas yang sudah ada rusaknya (tapi kemudian diperbaiki).  Alasannya, ya, itu tadi: unik, asli, estetis, bersejarah.  Selain itu bahan bakunya sangat bagus: jati tua yang terbilang langka dan mahal harganya.

Tapi untuk barang perabot elektronik sehari-hari, Poltak sudah pasti memilih barang baru. Barang elektronik tua yang sudah pernah rusak, pasti rewel dan banyak penyakitnya.  Itu ibarat pria muda menikah dengan nenek-nenek, atau gadis muda menikah dengan kakek-kakek, cuma dapat rewel dan penyakitnya. 

Begitulah.  Setiap orang tentu punya alasan sendiri untuk beli barang rusak (yang sudah diperbaiki atau akan diperbaiki sendiri).  Tapi ada satu alasan umum: "nilai khusus" yang melekat pada barang itu.

Saya pikir, "nilai khusus" itu jugalah yang menjadi alasan utama seorang pemuda mau menikahi seorang janda, atau seorang pemudi sudi menikahi seorang duda.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun