Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Keluarga Poltak Melawan Kapitalisme dari Rumah

16 Juni 2020   10:49 Diperbarui: 17 Juni 2020   11:50 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pasar kue subuh, jajanan pasar, di Pasar Senen Jakarta (Foto: tribunnews.com)

Kapitalisme itu sejatinya adalah gejala sederhana yang biasa-biasa saja. Hanya soal relasi produksi antara pemilik modal dan pemilik tenaga.

Tapi kapitalisme kemudian menjadi sebuah kekuatan dahsyat karena terhadap relasi produksi tadi dikenakan ragam formulasi rumit yang meluruskan jalan akumulasi modal.

Penguatan itu diawaki oleh dua kelompok elite. Elite ekonomi yang disebut majikan pemodal yang kaya raya dan elit saintis yang disebut ekonom pembela kapitalisme.

Kedua elite itu lalu bahu-membahu memaksa "negara-negara", diwakili elite birokrat pemerintahan, untuk menganut haluan kapitalisme dalam pembangunan nasional.

Jalinan kekuasaan antara tiga kelompok elite itu -- kapitalis, saintis ekonomi, birokrat -- membuat kapitalisme semakin kuat dan sebenarnya mengerikan.

Hasilnya dapat dilihat sekarang. Kapitalisme telah menjadi semacam "gurita tak terlihat", yang punya entah berapa "tentakel tak kasat mata" (invisible hand), yang membelit dan menghisap kekayaan dunia, kekayaan bangsa-bangsa.

Lalu apa yang tersisa untuk rakyat kebanyakan? Ada, janji "efek tetesan ke bawah dari pertumbuhan" (trickle down effect). Hasilnya adalah "remah-remah tukang roti yang serakah" bagi orang kebanyakan.

Itu nengingatkan saya pada peringatan Adam Smith dalam The Wealth of Nations, yang jika disederhanakan bunyinya begini, "Bukan dari kebajikan si tukang roti kita memperoleh makan malam melainkan dari keserakahan mereka."

Jadi semakin banyak kita beli roti kapitalis yang harganya selangit itu, semakin kaya kapitalis itu dan semakin miskin kita, sekurangnya secara relatif.

Kapitalisme itu, sekurangnya secara relatif, semakin memiskinkan kelas pekerja dan memperkaya kelas majikan. 

Termasuk dalam kelas pekerja itu adalah kelompok pedagang kecil yang nyaris tanpa modal, kecuali mungkin tenaga keluarga.

Orang berteriak melawan kapitalisme. Tapi mungkinkah? Pikirkanlah baik-baik, sekuat apa Anda untuk bisa menumbangkan koalisi elite kapitalis, birokrat dan ekonom? 

Konspirasi tiga kelompok elite itu terlalu tangguh, jika bicara aras makro.

Tapi jika bicara aras mikro, aras keluarga yang sangat mikro, sebenarnya ada harapan untuk menumbangkan kapitalisme. Walaupun sifatnya tidak menumbangkan dalam sekali pukulan telak, seperti Mike Tyson dulu menumbangkan lawan-lawannya di atas ring.

Saya akan menjelaskan perlawanan itu dengan mengangkat kisah Poltak dan keluarganya. Berdasar kisah sederhana itu, nanti di ujung saya akan coba berhipotesis.

***
Masa kanak-kanak Poltak, tahun 1960-an dihabiskan di Desa Panatapan, Tanah Batak. Pada masa itu Desa Panatapan masih terbilang steril dari tangan-tangan kapitalisme.

Satu-satunya tangan kapitalisme yang dianggap berkah di masa itu adalah bus dan truk yang melancarkan pergerakan manusia dan barang dari dan ke Desa Panatapan, lewat jalur Trans-Sumatera.

Kisah Poltak yang mau diangkat di sini spesifik menyangkut "jajanan pasar". Jangan ketawa dulu. Saya serius mau menunjukkan perlawanan terhadap kapitalisme di jalur "jajanan pasar".

Hari paling membahagiakan bagi Poltak tahun 1960-an itu adalah hari Sabtu. Ini adalah hari pasaran di Tigaraja, Parapat Simalungun.

Warga Desa Panatapan akan pergi ke pasar membawa hasil bumi dan ternak untuk dijual di pasar. Lalu pulang kembali setelah membeli berbagai kebutuhan pokok semingguan, keperluan pertanian, dan keperluan somatik seperti tembakau, sirih-pinang, kuteks, dan lain-lain.

Hal yang paling membahagiakan Poltak adalah jajanan pasar yang dibawa neneknya dari pasar. Ada gandasturi, kue pepe, ongol-ongol, onde-onde, bugis, putu mayang, wajik, klepon, dadar gulung, bikang, dan kue mangkok. Gonta-ganti jenis dari satu ke lain hari pasaran.

Begitulah proses pembentukan selera Poltak tentang "jajanan". Bagi Poltak, dari tahun 1960-an sampai 2020 ini, "jajanan" adalah kue-kue kelas "jajanan pasar" itu. Lain dari itu bukan jajanan dan, karena itu, tidak dipersepsikan "nikmat".

Selera "jajanan pasar" ala Poltak itulah, dan jutaan "Poltak-Poltak" lain di negeri ini, yang mendukung kelompok pedagang/pembuat "jajanan pasar" dapat bertahan. Kelompok pedagang/pembuat jajanan pasar itu bukanlah elite kapitalis.

Mereka itu kelompok "pekerja" jika perhadapkan dengan elite majikan kapitalisme. Jika menggunakan istilah sosiologi ekonomi, mereka itu kelompok subsisten, atau paling jauh kelompok komersil.

Lompat ke tahun 2000-an. Poltak harus melayani selera anaknya yang punya definisi operasional beda tentang "jajanan". Bagi kedua anaknya, Tiur dan Rondang, jajanan antara lain adalah burger, pastry, roti, French fries, dan pizza. Itu semua item "jajanan kapitalisme".

Sebenarnya Poltak sudah mencoba memperkenalkan "jajanan tradisional", produk ekonomi subsistensi atau komersil, yang dijual di pasar-pasar tradisional. Tapi kedua anaknya tidak begitu berselera dengan jenis-jenis jajanan itu. Kebahagiaannya adalah saat menikmati jajanan kapitalis itu.

Begitulah, lewat selera jajanan anak-anaknya yang dibentuk oleh kapitalisme, Poltak harus menguras kantongnya untuk memperkaya perusahaan-perusahaan kapitalis produsen dan pemasar aneka jenis jajanan kapitalisme itu.

Pada saat yang sama, Poltak telah mengkhianati kelompok pedagang/pembuat jajanan pasar tradisional, karena kini uangnya mengalir ke elite kapitalisme. Bukan lagi kepada para pelaku ekonomi subsisten atau komersil kecil-kecilan itu.

Begitulah cara Poltak berkolaborasi dengan elit kapitalisme untuk membunuh ekonomi kerakyatan. Tanpa disadarinya untuk waktu yang terlalu lama.

Lompat lagi ke tahun 2020, tepat ke masa pandemi Covid. Mengikuti protokol pengendalian Covid-19, Poltak sekeluarga patuh "di rumah aja." 

Praktis Poltak sekeluarga juga kesulitan mengakses jajanan kapitalis, karena restoran atau outletnya sempat diliburkan. Juga ada kecemasan bahwa jajanan kapitalis itu akan membawa serta Covid-19 ke dalam rumah jika dipesan lewat jasa ojek online.

Tapi "di rumah aja" tanpa jajanan adalah derita "sudah jatuh ketimpa tangga pula". Harus ada solusi. Isteri Poltak mulai kreatif menonton Youtube masak-memasak, termasuk konsten membuat sendiri kue-kue jajan pasar.

Yakin pasti bisa membuat jajanan pasar, Poltak dan isterinya membeli aneka bahan membuat kue-kue tradisional di pasar dan atu minimart/mart. Tepung, gula, mentega, pengembang, perisa, pewarna, telur, keju, dan lain-lain disiapkan.

Puji Tuhan, ternyata isteri Poltak sukses membuat sendiri jajanan pasar seperti kue mangkok, bikang, prol tape, onde-onde, klepon, dadar gulung, dan bugis. Karena tidak ada pilihan lain, dan sebab ternyata kue-kue itu "nikmat banget", tak urung kedua anak Poltak suka juga dan lama-lama ketagihan pula.

Nah, tiba saatnya Poltak melakukan indoktrinasi anti-kapitalisme di dalam rumah. Dia menekankan bahwa jajanan tradisional lebih sehat dan enak ketimbang jajanan kapitalisme.

Dengan membeli jajanan tradisional kita memperkaya negara sendiri. Jika membeli jajanan kapitalis kita memperkaya negara lain.

"Kita harus menjadi keluarga nasionalis, kita mulai dengan mencintai jajanan tradisional asli nusantara." Demikian indoktrinasi Poltak, perlawanan terhadap kapitalisme di jalur kue-kue "jajanan". Perlawanan dari rumah.

***
Pengalaman Poltak itu mengantar saya pada satu hipotesis kecil: "Kekuatan kapitalisme dapat digerogoti atau didisrupsi dari dalam keluarga."

Peralihan dari "jajanan kapitalis" ke "jajajan tradisional" pada skala keluarga, dalam hal ini digambarkan kasus keluarga Poltak, adalah bentuk disrupsi pada kekuatan kapitalisme di bidang "ekonomi jajanan".

Kasus keluarga Poltak itu membuat saya berpikir, kita tak perlu demonstrasi anarkis menyuruh turun Presiden atas tuduhan pro-kapitalisme, pro-aseng dan pro-asing. Atau teriak-teriak mengusir modal asing atas tuduhan memeras kekayaan bangsa Indonesia.

Kalau tidak suka kapitalisme, ya sudah, lawanlah dari dalam rumah. Contohnya tadi, seperti keluarga Poltak, belilah atau buat sendirilah jajanan tradisional nusantara, jangan konsumsi jajanan kapitalis mancanegara.

Kapitalisme tidak bisa ditumbangkan dengan kemunafikan. Teriak tolak kapitalisme Amerika, Jepang, Cina atau yang lain, sambil menikmati burger Amerika, naik motor Jepang, dan mengenakan stelan impor buatan Cina.

Orang-orang munafik adalah mangsa paling empuk bagi gurita kapitalisme yang tak kasat mata itu. Tapi subsistensi, swadesi, adalah lawan tangguh kapitalisme. (*)
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun