Kapitalisme itu sejatinya adalah gejala sederhana yang biasa-biasa saja. Hanya soal relasi produksi antara pemilik modal dan pemilik tenaga.
Tapi kapitalisme kemudian menjadi sebuah kekuatan dahsyat karena terhadap relasi produksi tadi dikenakan ragam formulasi rumit yang meluruskan jalan akumulasi modal.
Penguatan itu diawaki oleh dua kelompok elite. Elite ekonomi yang disebut majikan pemodal yang kaya raya dan elit saintis yang disebut ekonom pembela kapitalisme.
Kedua elite itu lalu bahu-membahu memaksa "negara-negara", diwakili elite birokrat pemerintahan, untuk menganut haluan kapitalisme dalam pembangunan nasional.
Jalinan kekuasaan antara tiga kelompok elite itu -- kapitalis, saintis ekonomi, birokrat -- membuat kapitalisme semakin kuat dan sebenarnya mengerikan.
Hasilnya dapat dilihat sekarang. Kapitalisme telah menjadi semacam "gurita tak terlihat", yang punya entah berapa "tentakel tak kasat mata" (invisible hand), yang membelit dan menghisap kekayaan dunia, kekayaan bangsa-bangsa.
Lalu apa yang tersisa untuk rakyat kebanyakan? Ada, janji "efek tetesan ke bawah dari pertumbuhan" (trickle down effect). Hasilnya adalah "remah-remah tukang roti yang serakah" bagi orang kebanyakan.
Itu nengingatkan saya pada peringatan Adam Smith dalam The Wealth of Nations, yang jika disederhanakan bunyinya begini, "Bukan dari kebajikan si tukang roti kita memperoleh makan malam melainkan dari keserakahan mereka."
Jadi semakin banyak kita beli roti kapitalis yang harganya selangit itu, semakin kaya kapitalis itu dan semakin miskin kita, sekurangnya secara relatif.
Kapitalisme itu, sekurangnya secara relatif, semakin memiskinkan kelas pekerja dan memperkaya kelas majikan.Â
Termasuk dalam kelas pekerja itu adalah kelompok pedagang kecil yang nyaris tanpa modal, kecuali mungkin tenaga keluarga.