Puji Tuhan, ternyata isteri Poltak sukses membuat sendiri jajanan pasar seperti kue mangkok, bikang, prol tape, onde-onde, klepon, dadar gulung, dan bugis. Karena tidak ada pilihan lain, dan sebab ternyata kue-kue itu "nikmat banget", tak urung kedua anak Poltak suka juga dan lama-lama ketagihan pula.
Nah, tiba saatnya Poltak melakukan indoktrinasi anti-kapitalisme di dalam rumah. Dia menekankan bahwa jajanan tradisional lebih sehat dan enak ketimbang jajanan kapitalisme.
Dengan membeli jajanan tradisional kita memperkaya negara sendiri. Jika membeli jajanan kapitalis kita memperkaya negara lain.
"Kita harus menjadi keluarga nasionalis, kita mulai dengan mencintai jajanan tradisional asli nusantara." Demikian indoktrinasi Poltak, perlawanan terhadap kapitalisme di jalur kue-kue "jajanan". Perlawanan dari rumah.
***
Pengalaman Poltak itu mengantar saya pada satu hipotesis kecil: "Kekuatan kapitalisme dapat digerogoti atau didisrupsi dari dalam keluarga."
Peralihan dari "jajanan kapitalis" ke "jajajan tradisional" pada skala keluarga, dalam hal ini digambarkan kasus keluarga Poltak, adalah bentuk disrupsi pada kekuatan kapitalisme di bidang "ekonomi jajanan".
Kasus keluarga Poltak itu membuat saya berpikir, kita tak perlu demonstrasi anarkis menyuruh turun Presiden atas tuduhan pro-kapitalisme, pro-aseng dan pro-asing. Atau teriak-teriak mengusir modal asing atas tuduhan memeras kekayaan bangsa Indonesia.
Kalau tidak suka kapitalisme, ya sudah, lawanlah dari dalam rumah. Contohnya tadi, seperti keluarga Poltak, belilah atau buat sendirilah jajanan tradisional nusantara, jangan konsumsi jajanan kapitalis mancanegara.
Kapitalisme tidak bisa ditumbangkan dengan kemunafikan. Teriak tolak kapitalisme Amerika, Jepang, Cina atau yang lain, sambil menikmati burger Amerika, naik motor Jepang, dan mengenakan stelan impor buatan Cina.
Orang-orang munafik adalah mangsa paling empuk bagi gurita kapitalisme yang tak kasat mata itu. Tapi subsistensi, swadesi, adalah lawan tangguh kapitalisme. (*)
Â