Dalam konsepsi "kebudayaan nasional", bahasa suku itu adalah sumbangan kekayaan etnis untuk kebudayaan nasional. Â Dengan demikian, bahasa suku bukan monopoli satu suku atau kelompok primordial saja. Â
Bahasa etnis itu bersifat lintas-SARA. Dia terbuka untuk dipakai setiap orang atau kelompok untuk mengantarkan gagasannya kepada pihak lain.
Karena itu, penggunaan bahasa suku Minangkabau mestinya bukan monopoli etnis Minangkabau yang beragama Islam. Â Dia bisa juga digunakan oleh etnis Non-Minangkabau yang beragama Non-Islam. Â Apalagi untuk tujuan-tujuan mulia.
Jadi, jika merujuk pada konsepsi keterlepasan bahasa dari adat dan agama, maka mestinya tidak ada keberatan untuk penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar Injil. Hal itu sudah terjadi dengan bahasa-bahasa suku lain, semisal Bahasa Batak Toba dan Bahasa Jawa.
***
Pertanyaannya kemudian, apakah permintaan Gubernur Sumbar untuk menghapus aplikasi Injil berbahasa Minangkabau itu merupakan persoalan adat, atau agama, atau sebenarnya politik?
Jika merujuk pada prinsip keterlepasan bahasa dari adat dan agama, maka hanya tersisa satu kemungkinan. Â Keberatan Gubernur Sumbar itu adalah langkah kapitalisasi isu adat dan agama untuk kepentingan politik. Â
Sebentar lagi Pilkada. Â Harus ada isu yang seksi untuk menarik dukungan politik warga Minangkabau. Â Isu "adat" (adat basandi syarak)" dan "agama" (syarak basandi kitabullah) mungkin dinilai paling efektif untuk mengikat suara warga Minangkabau. Â
Begitulah dinamika politik lokal kita. Â Masih kental dengan isu-isu dan kepentingan-kepentingan yang bersifat primordial. Tak perduli itu bertentangan dengan kepentingan nasional.
Ade Armando mungkin kurang akurat. Masyarakat Minang itu mestinya masih cerdas dan teguh seperti sedia kala. Â Tidak akan goyah adatnya dan imannya oleh aplikasi Injil berbahasa Minang.
Jadi, pantas diragukan klaim para politisi yang bilang Injil berbahasa Minang menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Â
Bahkan para politisi itu juga tak resah. Mereka hanya melihat adanya kesempatan kapitalisasi Injil berbahasa  Minang itu untuk kepentingan politiknya.