Sebenarnya bukan hanya di Jakarta. Tapi di banyak kota besar di Indonesia. Bahkan di dunia. Â Jakarta hanya perwakilan di sini.
Jalan kaki itu  keahlian dasar manusia.  Tapi sering diremehkan setelah dikuasai. Padahal waktu kita balita, jalan kaki pertama adalah mujizat  yang paling dinanti orang tua untuk potong tumpeng.
Dulu lewat getok tular orang sekampung diberitahu kalau anak balitanya sudah bisa jalan kaki. Sekarang orang sedunia harus tahu. Dikabari lewat teknologi komunikasi elektronik. Lewat youtube, instagram ataupun twitter.
Nah, bicara tentang teknologi. Â Unsur budaya satu ini luar biasa kuasanya. Â Dia bisa melipat jarak dan waktu di genggaman. Telepon genggam berbasis internet contohnya. Alat ini memungkinkan orang mengakses informasi apa saja, kapan saja dan di mana saja. Â
Alat yang sama memungkinkan orang saling sapa kapan saja di mana saja. Â Pak Menteri dan Pak Dirjen bisa ngobrol gayeng sambil nongkrong di kloset masing-masing.Â
Tapi itu cerita ngawur. Â Tak ada hubungannya dengan jalan kaki. Â
Teknologi transportasilah yang mengancam jalan kaki. Â Maksudnya bukan mengancam keselamatan pejalan kaki, kendati itu benar. Sebab menyeberang jalan raya dan menyusuri trotoar adalah kegiatan berisiko terserempet motor sableng.
Bukan, bukan itu. Â Ini soal kemampuan dahsyat transportasi modern meringkas waktu. Karena itu juga menghemat energi.Â
Itu kalau bicara efisiensi agregat, ya? Â Tiga ratus orang dalam satu gerbong MRT lebih hemat energi ketimbang 300 orang menyetir mobil sendiri.
Itu positifnya. Tapi marilah bicara negatifnya. Sebab negatif adalah berita sedangkan positif adalah derita. Bagi kaum "lambe turah", tentu saja.
Negatifnya, teknologi transportasi modern berwatak melumpuhkan. Maksudnya bukan melumpuhkan arus transportasi lewat hobi macet-ria. Tapi melumpuhkan kemampuan atau keahlian manusia berjalan kaki.